Tuesday, June 30, 2009

Instituições financeiras devem responder pelos prejuízos gerados a terceiros por permitir a abertura de conta-corrente mediante a apresentação de documentos falsos. A conclusão é da Quarta Turma do Superior Tribunal de Justiça, ao manter indenização por danos morais e materiais a ser paga pelo Banco do Estado da Bahia (BANEB) à empresa Enghouse – Engenharia e Arquitetura S/A, em virtude do uso indevido do CGC da empresa por outra, que abriu conta no banco e emitiu cheques sem fundo com a falsificação do documento, causando a inscrição indevida da Enghouse nos cadastros de proteção ao crédito.

Consta dos autos que o representante da Olinto Construções Ltda. foi até ao banco, onde abriu conta-corrente utilizando-se de CGC falso, pois a proprietária era a Enghouse. Posteriormente, a Olinto emitiu seis cheques sem fundos, cuja devolução deu ensejo à inscrição do nome da verdadeira portadora do CGC nos cadastros de proteção ao crédito.

A Enghouse entrou na Justiça contra o banco, afirmando que fato teria ocasionado o cancelamento de dois contratos de empreitada já assinados, bem como a impossibilidade de participar de licitações, por não conseguir obter atestado de idoneidade financeira.

Segundo a defesa, o banco agiu de forma desidiosa, não comparando a assinatura dos cheques sem fundos com a das fichas cadastrais tanto da emitente quanto suas, além de não ter publicado retratação de modo a atenuar as consequências danosas da inserção de seu nome entre o dos maus pagadores.

Em primeira instância, a ação foi julgada procedente. Em apelação para o Tribunal de Justiça da Bahia (TJBA), o banco alegou incompetência absoluta e funcional do juiz, pois a privatização do banco tornaria incompetente a Vara da Fazenda Pública. Protestou, ainda, contra o que considerou decisão ultra petita, que estaria caracterizada pelo fato de a sentença ter concedido danos materiais mais abrangentes do que os pedidos na ação.

O tribunal baiano negou provimento à apelação, afastando todas as alegações. “Culpa consubstanciada em omissão e negligência do apelante. “Descumprimento de normas e exigências do banco central na abertura de contas correntes”, diz a decisão. Insatisfeito, o banco recorreu ao STJ, alegando, entre outras coisas, que a conduta do falsário se constitui em fato de terceiro apto a romper a relação de causalidade necessária para a configuração da responsabilidade civil. Ainda segundo a defesa, a sentença concedeu mais do que o pedido, o que seria ilegal.

A Quarta Turma conheceu parcialmente do recurso e deu provimento apenas para reduzir a indenização por danos morais. “A falsificação de documentos para a abertura de conta-corrente não isenta a instituição financeira da responsabilidade de indenizar, pois constitui risco inerente à atividade econômica por ela desenvolvida”, considerou o ministro Fernando Gonçalves, relator do caso, ao manter a decisão por danos materiais, que serão calculados na liquidação de sentença.

A alegação de incompetência também foi afastada. “A verificação de eventual maltrato dos artigos 87, 93 e 113 do Código de Processo Civil depende da anterior análise da Lei de Organização Judiciária do Estado da Bahia, de modo a constatar os efeitos da privatização da recorrente na competência do juízo”, esclareceu. “Nesse passo, o deslinde da controvérsia pressupõe o exame de direito local, matéria imune ao crivo do recurso especial, nos termos da súmula 280/STF”, considerou o relator.

O recurso especial foi provido, no entanto, na parte que pedia a redução do valor dos danos morais. “Creio que o valor da indenização realmente se mostra desproporcional à hipótese tratada nos autos, especialmente porque a utilização de documentação falsa por terceiro foi decisiva no equívoco perpetrado pela recorrente. Nessa perspectiva, reduzo o montante fixado a títulos de danos morais para o valor de R$ 25.000,00”, concluiu Fernando Gonçalves. Coordenadoria de Editoria e Imprensa.

Monday, June 29, 2009

RASA KEHILANGAN

Kepergian seseorang, kepindahan ke kota lain, kehilangan sesuatu benda yang telah mengisi sejarah hidup kita sering meninggalkan guratan dihati, kerinduan untuk bertemu atau memiliki nya kembali.

Kehilangan Ayah
Ayah meninggal dunia pada saat saya baru saja menduduki jabatan paling top dalam karir, sebagai Kepala BRI Cabang Pahlawan (d/h Pasarturi) Surabaya. Terasa ada penyesalan yang sangat dalam dan rasa berdosa yang amat besar yang membayangi langkah langkah selama saya bernafas. Dalam posisi top sebagai Kepala Cabang besar, di Ibukota Propinsi dengan fasilitas dan berkat yang mengikutinya, saya sebenarnya mampu menyenangkan mereka, tapi tidak saya lakukan. Saya belum berbhakti sesuatu yang berarti kepada mereka.Bahkan ada perasaan sebagai anak durhaka.

Kadangkala, jika termenung, bayangan Ayah sering muncul dengan senyumnya yang khas, kesabaran, tidak pernah suaranya meninggi dan tidak punya musuh. Walaupun bukan masuk kategori menengah atas, tapi hidup keluarga kami berkecukupan. Dan yang penting lingkungan hidup keluarga kami tentram dan damai. Itulah rasa kehilangan Ayah.

Kehilangan teman

Hampir sama dengan itu, ada juga rasa kehilangan, kepergian seorang sohib akrab, Pak BF Gultom, pejabat tinggi, Kepala Biro Bangunan di Setjen DPR.RI, teman semasa kuliah, satu kamar indekos di Yogjakarta, sampai bersambung tetap bersahabat setelah menikah, membawa kenangan dan kehilangan tersendiri, apalagi kepergiannya ke alam baka baru saya ketahui kemudian. 

Jika melewati Gedung DPR di Senayan, pasti saya mengingat kebaikannya, yang suka menolong mencari pekerjaan untuk keluarga dari kampung dan teman temannya. Sebelum saya masuk BRI, dia pernah merekomendasikan saya jadi wartawan di Harian Suara Karya, Jakarta, untuk beberapa bulan, karena dia tahu dulu saya aktif di Mingguan Mahasiswa Inonesia edisi Yogjakarta.

Mantan atasan
Hampir sama juga dengan itu, kepergian rekan seprofesi, Pejabat tinggi di BRI, memberi kenangan tersendiri pula. Bapak Trisulo dan bapak Djumeri yang secara fisik kelihatan sehat, kuat dan gagah harus mengucapkan good bye. Terbayang wajah Bapak Trisulo yang ganteng, murah senyum. Beliau mantan atasan saya di Surabaya, Kepala Kanwil BRI Jawa Timur, yang pindah menjadi Kepala Divisi Bisnit Unit (Micro) di Kantor Pusat BRI dan saya jadi Wakilnya. 

Selalu teringat, selama menjadi wakilnya, Nota Nota Dinas kepada Direksi BRI yang saya buat, belum pernah ditolaknya. Dan bila Pak Trisulo, Kepala Divisi sudah tanda tangan, maka Direktur atau Dirut otomatis setuju. Suatu indikasi kepercayaan dan pengakuan atas pemikiraan saya.

Ada satu pernyataannya yang selalu terngiang dalam ingatan saya hingga saat ini :"Pak Situmeang jangan dendam ya", katanya. Tidak dijelaskan apa maksudnya. Tetapi patut diduga, ada semacam penyesalan dan kerisauan dalam hatinya, tidak mem back up saya sebelum dipindahkan dari Kepala Cabang BRI Pahlawan, Surabaya ke Kantor Pusat BRI Jakarta. Karena dia mengetahui dengan pasti, bahwa selama di Surabaya tidak ada penyimpangan yang saya lalukan.


Sedang Bapak Djumeri adalah mantan Direktur Bank Industri, yang pernah menggantikan posisi saya sebagai Kepala Cabang BRI Kudus. Cabang yang saya besarkan menjadi "the big tree" Cabang BRI se Jawa Tengah, menjadi salah satu faktor positif untuk mendongkrak promosinya ke jabatan lebih tinggi, disamping karena network dengan para pegolf Pejabat tinggi BRI. Diakhir hidupnya, kami sering olahraga bersama disekitar Cempaka Putih dan tiba tiba tanpa sepengetahuan saya, dia sudah pergi.

Kepulangan anak

Kepergian seseorang karena meninggal dunia dan kepergian karena tinggal di Luar Negeri agak berbeda. Anak saya, Monang, yang menghabiskan cuti 2 (dua) minggunya di Jakarta musim panas 2007. Saat akan kembali ke Amerika, dia berpamitan di Bandara, memeluk kami satu persatu, tersenyum, melangkah dengan sepatu kets dan celana pendeknya, gaya khasnya sejak lama, melambaikan tangan dan menghilang dibalik ruang kaca. 

Terasa ada sesuatu yang hilang dari hidup saya. Dia teman bermain dikala masih kecil hingga tammat SMA PSKD, hidup di Amerika setelah lulus SMA sampai kerja, nikah, sekarang pergi meninggalkan kami. Timbul perasaan aneh, apakah kami akan ketemu lagi ?.

Menjual mobil

Sedangkan kehilangan sesuatu, benda mati, memberi arti tersendiri berbeda dengan kehilangan seseorang. Menjual mobil untuk menutupi kebutuhan cash, terasa menyesakkan dada, menyisakan rasa kegagalan, walau di garasi masih bertengger 3 mobil. Masih teringat ketika tiga anak mau kembali ke Amerika setelah liburan kami menjual satu unit Honda Accord. Sebelum krisis tahun 2008 harga mobil di Indonesia memang cukup tinggi, bisa 3 kali harga mobil di Amerika. Menjaual 1 mobil di Jakarta bisa membeli 3 mobil baru di Amerika, cukup berarti untuk mendukung kuliah mereka bertiga disana.

Penarikan kembali oleh Leasing

Sama halnya dengan menjual mobil, maka ketika 2 unit alat berat Reach Stacker senilai US.$ 1 juta ditarik kembali oleh Leasing Company, sebagai akibat krisis ekonomi, ada kehilangan yang sangat mendalam, karena usaha yang kami geluti dan mengisi sejarah hidup selama 3 tahun, hilang sekejap, seperti petir disiang bolong. Rasanya ada yang mencuri sesuatu dari tengah tengah rumah tangga, walaupun itu barang mati dan itulah jalan terbaik waktu itu, negosiasi yang win win untuk kedua fihak.

Meninggalkan Cabang di daerah
Peristiwa meninggalkan suatu kota for good, untuk selamanya, karena dipindah oleh Dinas, juga membawa kenangan dan kehilangan sahabat dan pegawai BRI yang saya rekrut dan bina selama 3 tahun lebih. Ada 3 (tiga) peristiwa yang memberikan 2 (dua) kesan yang berbeda. Kesan pertama adalah "rasa sukses" mendapat promosi dari kota kecil diujung pulau Timor masuk ke kota Industri Kudus. Tentu Direksi BRI telah menganalisa kepemimpinan saya selama 3 tahun lebih di Atambua, NTT. Kejadian kedua terulang kembali ketika dipromosikan dari kota Kudus ke Cabang di Ibukota Propinsi Jawa Timur. Sedang kepindahan ke Kantor Pusat menyisakan sebuah kenangan dan kehilangan tersendiri.

Kesan dan rasa kehilangan yang sangat dalam adalah pada cinta pertama saya, yaitu mencintai kota Atambua, karena disanalah saya diangkat menjadi Kepala cabang BRI untuk pertama sekali. Membesarkan BRI, mendirikan rumah Dinas dan kantor baru dan mendidik pegawai untuk memberikan pelayanan terbaik, sangat membekas. Saya ada obsessi, kelak ingin napak tilas kesana lagi, sekedar melepas rindu dan nostalgia.

Inilah beberapa kesan dan menjadi kenangan yang kemudian menimbulkan rasa rindu dan kehilangan teman, anak, kota kenangan dan harta, yang bisa dipetik hikmahnya. Bahwa kebaikan seseorang tetap akan dikenang bahkan dapat diabadikan dalam tulisan. Promosi tidak hanya mengandalkan keahlian dan pengalaman, tetapi juga network, hubungan yang baik sesama lingkungan dimana kita bekerja. Sedang kehilangan harta, tidak perlu terlalu dirisaukan, karena dapat diganti dikemudian hari.


Laerte Braga*

Militares se atribuem o monopólio do “patriotismo”. De um modo geral transformam as forças armadas em estamento, ou seja, uma “instituição” à parte do todo. Julgam-se com o direito de definir o destino de seus países – a maioria esmagadora – Estabelecem limites para governo, enchem-se de privilégios e subordinam-se a interesses de grupos econômicos. Esse o xis da questão.

O golpe de 1964 no Brasil não foi diferente. Um grupo de militares de extrema-direita apossou-se do poder, violou todas as normas constitucionais, chamou a aventura de “revolução”, prendeu, torturou, matou e exilou milhares de brasileiros, inclusive militares legalistas comprometidos com a Nação e não com empresas ou bancos, ou ltifundiários.

O presidente de Honduras Manuel Zelaya foi preso por volta das nove horas da manhã, hora de Brasília, por militares de seu país e levado para uma base da força aérea – eles têm essa mania, dividem a quadrilha em setores –. Os militares cumprem o que lhe foi determinado pelo capital. Empresas nacionais, internacionais – principalmente –, bancos e latifundiários.

Não concordaram com a realização de um referendo popular para decidir sobre a necessidade, o desejo ou não de reformas constitucionais no país. O presidente queria ouvir a opinião dos hondurenhos. Empresários, latifundiários, banqueiros, sob a batuta do embaixador dos Estados Unidos e um congresso e uma corte suprema padrão Gilmar Mendes/José Sarney não aceitaram.

Honduras é um pequeno país da América Central governado historicamente pelas elites e por militares (que as representam) e sob absoluto domínio econômico e político dos interesses dos EUA.

Zelaya, eleito pelo voto popular, decidira promover reformas na constituição, ouvir o povo para isso e aderiu a Aliança Bolivariana – ALBA – proposta pelo presidente da Venezuela Hugo Chávez.

E agora Obama? É show de democracia, efeitos especiais ou é para valer?

A soma de países como Honduras sustenta as grandes potências do mundo e especificamente na América Latina os Estados Unidos. O império se mantém na exploração de riquezas e povos dos países latino americanos.

Presidentes que possam vir a contrariar esses interesses são vítimas de golpe. Foi assim com João Goulart no Brasil, com Salvador Allende no Chile, como está sendo agora com Zelaya em Honduras, como tentaram fazer com Chávez e Evo Morales e como tentam fazer com Fernando Lugo e Daniel Ortega.

Não é de graça que o NEW YORK TIMES noticia que o presidente do Equador, Rafel Corrêa, está ligado às FARCs. Acusa o presidente do Equador de financiar as FARCs. Ignora a barbárie do dia a dia do presidente/traficante Álvaro Uribe, mas dócil aos EUA e seus interesses, de suas empresas.

Os militares prenderam Zelaya, cortaram o sinal dos canais de tevê do governo, censuraram os meios independentes de imprensa – a grande imprensa é deles e fomentou o golpe – e reprimem de forma brutal e violenta os protestos contra o golpe.

São patriotas. É por isso que Samuel Johnson, pensador e deputado no parlamento da Grã Bretanha, afirmou há mais de cem anos, que “o patriotismo é o último refúgio dos canalhas”.

Democracia como a concebem os donos do mundo é um exercício hipócrita de respeito à vontade popular – manipulada e manietada pela mídia – em função dos donos. Como no Brasil. Não é diferente. O governo pode “ousar” até determinada linha, depois, se contrariar a VALE por exemplo, vai para o brejo.

Há uma nova realidade em curso na América Latina. A eleição de Hugo Chávez na Venezuela trouxe governos populares em vários países da região. Essa realidade provoca imediata reação das elites e com elas os militares, uma espécie de segurança de luxo de banqueiros, empresários e latifundiários.

Se a situação foge do controle fazem como Haiti. Retiram o presidente do país, enviam tropas para “restabelecer e garantir a ordem e a democracia” e continuam a explorar os povos latino-americanos. Não difere na África e na Ásia.

A globalização é só a ressurreição do colonialismo sob nova roupagem.

A doutrina de segurança nacional que inspirou os golpes na década de 60 se constituiu exatamente em cima de uma chamada Comissão Tri-lateral AAA – AMÉRICA, ÁSIA e ÁFRICA –.

O Consenso de Washington foi o passo seguinte no processo demolidor e predador do capitalismo. É ali que fomentam e criam monstros como FHC, Serra, que tentam golpes contra presidentes eleitos, mas contrários ao modelo de colonização imposto no processo neoliberal e ali é que prendem presidentes como Zelaya que busca apenas ouvir a vontade de seu povo para executá-la.

Como é que fica a democracia agora Obama? Farsa? Não foi para isso que invadiram e ocupam o Iraque? Que ao longo dos séculos desde a independência norte-americanos têm se metido em todos os cantos do mundo para manter intocados privilégios de seus grandes grupos em parceria com elites podres, padrão FIESP/DASLU, como no Brasil?

Zelaya talvez não tenha entendido que povo no conceito dos donos são apenas eles, os donos.

É aceitar o estupro ou reagir. Em Honduras e em toda a América Latina, do contrário não há futuro só um imenso deserto de exploração e barbárie partes intrínsecas do capitalismo.


*Laerte Braga, escritor e jornalista

Sunday, June 28, 2009



Informações de última hora dão conta de que o presidente de Honduras, Manuel Zelaya, foi sequestrado por militares no começo da manhã de domingo, em um golpe de Estado orquestrado por setores de direita, e levado a força para a Costa Rica.

Setores da direita hondurenha apelaram para o golpe de Estado por não aceitarem a convocação de um plebiscito por parte do presidente, que seria realizado hoje, com o objetivo de permitir que a população decidisse se deveriam ou não ser convocadas eleições para uma Assembléia Constituinte no país, para elaborar uma nova Constituição.

Segundo o portal venezuelano LaClase.info, milhares de manifestantes tomaram as ruas da capital do país, Tegucigalpa, protestando contra o golpe, e estão sendo reprimidos.

Conlutas promove debate sobre Stonewall neste domingo





Em 28 de junho de 1968, a comunidade GLBT de Nova Iorque se levantou contra a violência e o preconceito, enfrentou a polícia dos EUA e deu início a uma grande rebelião, que marcou o início do movimento gay moderno. O palco desta revolta foi o bar Stonewall, em Nova Iorque.

Quarenta anos depois, o preconceito, a homofobia ainda persistem, mostrando a intolerância contra a homossexualidade. O episódio mais recente foi a bomba lançada no Largo do Arouche, em São Paulo, contra participantes da 13º Parada do Orgulho Gay, ferindo dezenas de pessoas. No mesmo dia, Marcelo Campos Barros foi agredido por uma gangue, sofreu traumatismo craniano e faleceu.

O Grupo de Trabalho de Gays, Lésbicas, Bissexuais e Transgenêros (GT-GLBT) da Conlutas entende que é o momento de resgatar o espírito de Stonewall. O GT promove um debate neste domingo, dia 28, marcando os 40 anos da revolta. O debate será na sede da Apeoesp, na Praça da República, 282, a partir das 16h.

Saturday, June 27, 2009



JEFERSON CHOMA
da redação do Opinião Socialista PSTU

Os ruralistas estão mais felizes nesta sexta-feira, dia 26. O presidente Lula aprovou a Medida Provisória 458, conhecida como a MP da Amazônia, que legaliza a grilagem na região. Apenas o artigo 7 da MP foi vetado, que tratava da venda e regularização fundiária para pessoas jurídicas. No entanto, como lembrou Claudio Angelo, editor de ciência da Folha de S.Paulo, “a grilagem não atua como pessoa jurídica, não paga imposto de renda e nem usa CNPJ”. A grilagem utiliza laranjas, ou seja, as terras ilegais estão em nome de pessoas físicas, parentes, amigos e funcionários das grandes empresas. Portanto, o veto ao Artigo 7 é uma medida cosmética, que não impede uma ampla legalização das terras griladas.

A medida atinge 67, 4 milhões hectares de terras públicas na Amazônia. As áreas ocupadas de até 100 hectares serão doadas. De 100 a 400 hectares, será cobrado apenas um valor simbólico de seus ocupantes. Já as áreas maiores, com até 1.500 hectares, serão alienadas a valor de mercado, mas com prazo de carência de 20 anos. Essas áreas correspondem a quase 80% da área total, embora correspondam a apenas 6,6% dos imóveis. Ou seja, a MP permite que o ruralista faça uma suposta “compra” dessas áreas pertencentes, regularizando assim o que antes era ilegal.

Os ambientalistas criticaram de forma contundente a medida do governo. Segundo o Greenpeace, “o texto sancionado pelo presidente absolve o Estado da responsabilidade de governar a Amazônia. A Medida Provisória prevê a regularização da posse de terra pública invadida a partir de uma mera declaração de quem a ocupa”.

Procuradores da República também apontam inconstitucionalidade da MP. Em nota, disseram que a medida "atenta contra a política nacional de reforma agrária, contra a legislação de licitações e prejudica a proteção a populações tradicionais"..

Os únicos a comemorar foram os ruralistas. “Apoiamos a Medida Provisória do governo que propõe a regularização das terras na Amazônia.", disse sorridente o presidente da Sociedade Rural Brasileita (SRB), Cesário Ramalho da Silva. O ruralista considerou o resultado “positivo” e disse que o veto à questão das empresas é “um pequeno detalhe” que “não muda em nada a essência” da MP. Ele, infelizmente, tem razão.

Para o geográfo da USP, Ariovaldo Umbelino, o argumento do governo de que a legalização das terras públicas vai beneficiar pequenos produtores é populista.

“Na realidade, os pequenos posseiros que pela legislação atual já têm este direito constitucional da legitimação de suas posses, ocupam apenas 20% dessas terras. E mais, nos primeiros seis anos deste governo o INCRA muito pouco fez para regularizar essas posses, pois atingiu apenas 17%”, ecreveu o geográfo em um artigo recente (Rádio Agência NP).

Umbelino vai mais além e conclui: “esta opção pela regularização da grilagem das terras públicas revela que, o governo de Luiz Inácio da Silva está substituindo a política de reforma agrária pela política de regularização fundiária”.

Fonte: site do PSTU - clique aqui e visite

Thursday, June 25, 2009

Por Jorge Luiz Souto Maior (Juiz do Trabalho titular da Terceira Vara do Trabalho de Jundiaí-SP e livre docente em Direito do Trabalho pela USP).

Escrevo o presente texto entre uma audiência e outra e o momento não poderia ser mais oportuno para a presente reflexão. É que em todas as audiências realizadas instaura-se um diálogo franco e aberto entre os presentes, pondo-se em avaliação as possíveis irregularidades jurídicas cometidas, com a conseqüente fixação da forma de sua regularização. De forma rígida, em respeito à ordem jurídica trabalhista, que envolve várias questões de ordem pública, e também em respeito a todos os demais cidadãos brasileiros que não estão presentes à audiência, as soluções preconizadas, em acordos e sentenças, nas audiências que presido, são sempre baseadas no resgate da autoridade do direito, a que todos devem respeito. O conhecimento prévio desse pressuposto tem feito com que as manifestações e os atos se desenvolvam a partir do reconhecimento implícito de que se deve agir em conformidade com o direito. Não fosse assim não haveria parâmetro para medir as condutas no sentido de saber se foram regulares ou irregulares. Não haveria o próprio direito e, por conseqüência, também o ilícito.

As audiências constituem um momento explícito de atuação do direito, no qual todos, indistintamente, mesmo o juiz, em função dos limites jurídicos de sua atuação, medidos pelos fundamentos de suas decisões, se vêem constrangidos a agir em conformidade com ordenamento jurídico, sendo certo que se este fixa obrigações também confere direitos.

De forma um pouco mais poética é possível identificar a audiência como um dos momentos em que o Direito, abstratamente consignado em textos legais, ganha vida, valendo destacar que esse parto não é sempre um momento tranqüilo. Ele envolve conflitos, tensões, manifestações às vezes mais calorosas, defesas de pontos de vista, decisões, protestos, recursos etc. O parâmetro, de todo modo, é sempre o mesmo: o da atuação em conformidade com a ordem jurídica, o que confere a todos a sensação da plena eficácia do Estado Democrático de Direito, que se faz presente tanto no aspecto processual, da atuação no processo, quanto no que se refere à avaliação da correção dos atos praticados na vida em sociedade, no caso do Direito do Trabalho, nas relações de trabalho subordinado.

Pois bem, em meio a esse autêntico exercício de cidadania, somos todos, presentes a uma audiência, pegos de surpresa, pela notícia, posta na internet, de que o Presidente Lula teria dito que o Senador Sarney não pode ser tratado como uma “pessoa comum”, deixando transparecer que a ordem jurídica só se aplica a nós, as pessoas comuns. O Presidente Lula, mesmo sem intenção de fazê-lo – no que se acredita plenamente – acabou agredindo a sociedade brasileira, que procura agir com respeito às instituições jurídicas.

Talvez tenha tentado dizer que somente as pessoas comuns cometem deslizes éticos ou praticam atos ilícitos, do que estão isentos os “não-comuns” – mas, aí, então, sua fala seria uma agressão ainda maior.

E o Ex-Presidente, Sen. José Sarney, por sua vez, agrediu a todos, não pela manifestação de sua defesa, até porque ninguém pode ser incriminado antes do devido processo legal. O Sen. Sarney tem amplo direito de negar as acusações, e até de dizer que pode estar sendo vítima de uma conspiração etc. Mas, não pode, de jeito algum, sugerir que os erros do passado fiquem sem a devida punição, cabendo a cada um atribuir-lhe o próprio julgamento, até porque, como se sabe, as “pessoas comuns” não estão inseridas em sua fala, e estas, por certo, estão submetidas ao julgamento das instituições jurídicas.

Ambos falaram em preservar as instituições democráticas, destacando a importância delas para a sociedade. Disso não se discorda. Mas, as instituições não se preservam a partir dos pressupostos que ambos estabeleceram. É importante, ademais, que tenham a consciência de que as instituições democráticas não lhes pertencem. Os homens do poder costumam confundir suas pessoas com as próprias instituições e é essa, ademais, a origem do malsinado nepotismo. A confusão é tanta, que consideram que os “erros” cometidos se constituem, no máximo, uma opção equivocada. Mas não: os homens do poder, em um Estado de Direito, exercem o poder em nome do povo, seguindo os padrões do direito. Seus atos, que não respeitam esse pressuposto, são uma ilegalidade – a mais grave de todas, porque gera a descrença em toda a sociedade quanto à validade da ordem jurídica e causa desânimo em todos que, diariamente, postam-se na defesa estrita da autoridade do Direito.

É por isso que, na qualidade de um cidadão brasileiro, consciente de que não existem gradações meritórias na condição humana, venho, publicamente, exigir uma retratação dos referidos senhores, pois se há alguma discussão no que tange à existência de atos secretos no Senado e quanto às responsabilidades daí decorrentes, dúvida não há de que as falas que proferiram, conforme acima destacado, constituíram uma agressão explícita aos conceitos fundamentais de cidadania e de Estado Democrático de Direito.

Monday, June 22, 2009

Para muitos a notícia abaixo, que retirei do Blog Azul Marinho com Pequi, seria, se não mais uma demonstração de traição de Lula, a demonstração de mais um equivoco de quem já foi até por mim chamado de companheiro.

Mas, as declarações de Lula abaixo transcritas são coerente com o que realmente é seu governo: um governo dos latifundiários, da burguesia e dos banqueiros, ainda que muitos trabalhadores, ainda enxerguem esse governo como seu.

Adriano Espíndola



Quem desmatou não é bandido, afirma Lula.

Presidente ataca ONGs que criticam regularização de terras da Amazônia e diz que medida reduz violência

Numa demonstração do prestígio do agronegócio, o presidente Luiz Inácio Lula da Silva atacou as ONGs que criticam a medida provisória que regulariza as posses de até 1,5 mil hectares na Amazônia e afirmou que "ninguém pode ficar dizendo que alguém é bandido porque desmatou" a região. Em seguida, Lula lembrou que o desmatamento foi incentivado por atos do governo na década de 70, quando foi feita uma reforma agrária e famílias inteiras mudaram-se do Sul para a Amazônia, pegaram malária, tomaram picada de cobras e não tinham um médico nem a 100 quilômetros para se tratar.
As declarações de Lula foram feitas durante cerimônia de lançamento de uma série de programas para a Amazônia, dando início ao processo de cadastramento para a regularização de 296 mil imóveis ocupados irregularmente nos nove Estados amazônicos, embora Lula não tenha ainda sancionado a MP. Ele disse que tem até o dia 25 para fazer isso e que até pretende ouvir todos os setores envolvidos na questão para saber se deve ou não vetar algo.
Quanto às críticas das ONGs, Lula foi duro com as entidades minutos depois do discurso, durante entrevista. "Eu posso dizer que as ONGs não estão dizendo a verdade quando dizem que a MP (458) incentiva a grilagem de terra no Brasil. O que nós queremos fazer é exatamente garantir que as pessoas tenham o título da terra, para ver se a gente acaba com a violência neste País. É isso que nós queremos e vamos fazer".
As entidades pregam o veto aos artigos que permitem a legalização de terras ocupadas por empresas e a venda da posse depois de três anos e não de dez, como previsto no texto original. Elas dizem que a MP permite a grilagem.
Ainda no discurso, feito com o sol a pino, diante de uma plateia entusiasmada formada por pessoas de cidades da região - e de onde de vez em quando saía a frase "Eu te amo, presidente" e este respondia "Eu também amo vocês" - , Lula disse que tem orgulho de ver a pessoa que prosperou. "Eu fico com orgulho quando vejo um cidadão que tinha 50 hectares de terra no Rio Grande do Sul e hoje tem 2 mil hectares (na Amazônia), tem casa, tem carro e está bem de vida, porque produziu, porque trabalhou, porque comeu o pão que o diabo amassou."
Para Lula, hoje o País necessita passar por um processo inverso do que ocorreu nos anos 70. "Nós, agora, precisamos remar ao contrário. Nós temos que dizer para as pessoas que, se houve um momento em que a gente podia desmatar, agora desmatar joga contra a gente, vai nos prejudicar no futuro, porque empréstimo internacional não sai." Aproveitando a presença do governador de Mato Grosso, Blairo Maggi (PR), Lula chegou a imitar um diálogo entre um comprador da Europa e o governador, que é grande produtor de soja: "Ah, é da região da Amazônia, que está destruindo?" "É." "Então, não vamos comprar."

VANTAGEM COMPARATIVA

Por isso, disse o presidente, preservar é uma vantagem comparativa para o Brasil. "Hoje, em vez de a gente dizer que não pode cortar árvore, temos que incentivar e pagar para plantarem as árvores que nós achamos que precisa plantar."
Lula anunciou que o governo terá um programa, a ser chamado de Bolsa-Verde, que dará R$ 100 às famílias de agricultores que plantarem árvores e ajudarem a reflorestar a Amazônia (leia na página A11). Ele lembrou que em dezembro haverá a Convenção do Clima em Copenhague (Dinamarca). "Todo o mundo vai estar lá. E, se a gente não tomar cuidado, todo mundo vai dizer que o Brasil está desmatando a Amazônia", afirmou.

Fonte: Estadão

Sunday, June 21, 2009



Amigos,

Há um ótimo documentário sobre a Simonal na praça.


O filme, dirigido por Cláudio Manoel, do Casseta e Planeta (isso mesmo, ainda que sério, o filme é de um casseta!) é imperdível e resgata a figura deste grande cantor, cujo a imagem e memória restaram abalada por supostamente ser Simonal um caguete da ditadura.


Abaixo publico extrato de duas ótimas criticas, uma de Wilson H. Silva, publicado originalmente no site do PSTU, e ou de Rozi Brasil, pubicado no ótimo Blog Cinema é Minha (nossa) Praia


Adriano Espíndola


=-=-=-=-=-=-

1. Artigo de Wilson H. Silva


Simonal: quando a arte e alienação colidem

Wilson H. Silva
da redação do Opinião Socialista
e membro da Secretaria Nacional de Negros e Negras dos PSTU


Em primeiro lugar, é preciso dizer que “Simonal: ninguém sabe o duro que dei”, documentário dirigido por Cláudio Manoel, do grupo Casseta & Planeta, Micael Langer e Calvito Leal, é imperdível. Não só por suas qualidades artísticas, mas também pelo seu tema.

Quem ver o filme poderá entender por que Wilson Simonal (1938 – 2000), negro e filho de uma empregada doméstica, transformou-se, sem dúvida alguma, em um dos mais importantes cantores de nosso país.
Aliás, mais do que um intérprete e compositor, Simonal foi um “showman”, capaz, como poucos, de cativar e empolgar o público com seu repertório ousado, onde samba, rock, música pop e influências diversas da música negra se encontravam e se renovavam. Uma figura marcante, capaz de levar mais de 30 mil pessoas ao delírio num histórico show realizado no Maracanazinho, ou de manter espectadores grudados na tela, nas suas muitas aparições na televisão, durante os anos 1960.

Um personagem tão influente que, diga-se de passagem, inspirou o nome de toda uma geração de jovens negros que nasceram naquela década.Tudo isso está num filme primorosamente dirigido, recheado com depoimentos e imagens de época. E que, acima de tudo, não deixou de colocar o dedo numa das feridas ainda abertas dos tempos da ditadura: o envolvimento de Simonal com o famigerado Departamento de Ordem Social e Política (Dops), cuja repercussão fez com que o cantor “caísse em desgraça” no cenário musical brasileiro...


=-=-=-=-

2. Artigo de Rozi Brasil:

Simonal – Ninguém Sabe o Duro Que Dei

Falar sobre o que todos já falaram se não inclui exclusividade é imprescindível emoção. Não há como não se emocionar com o Sr.Casseta que fala sério sobre um tema seriíssimo, sobre uma pessoa que não foi levada a sério e que bem pode comprovar a frase de Pablo Neruda “A verdade é que não há verdade”.

Sabemos nós que toda história tem dois lados, mas esta parece que desde sempre só teve um. O documentário bem feito, sem narrador e com edição cheia de “bossa” tem uns pecadinhos na fotografia em alguns enquadramentos nos rostos dos entrevistados, que até pareceram propositais a fim de privilegiarem a emoção em detrimento da técnica. Com entrevistados ilustres (fiquei surpresa ao ver a crítica teatral, Bárbara Heliodora por lá) mostra que Claudio Manoel escolheu um lado, um daqueles dois únicos lados que Ziraldo diz no seu depoimento que havia na época, dois lados e um punhado de fatos obscuros e sublinhados por comportamentos grifados pela intolerância tanto de um lado quanto de outro.

Talvez naquele tempo, debaixo da nuvem de chumbo, não existisse o excesso de representantes dos Direitos Humanos que vemos em ação hoje em dia. Mas parece que nenhum representante dos DHs, ainda que nascido posteriormente tivesse interesse em apurar e retirar do limbo o grande cantor. Foram tantos os pedidos de desculpas, desagravos e indenizações póstumos, que a mim causa estranheza a permanência do silêncio tempo a fora...


Saturday, June 20, 2009

Amigos e amigas,

Abaixo matéria que denúncia o criminoso papel que o Brasil vem cumprindo no Haiti . Aos colegas advogados, chamo atenção ao apoio do advogado trabalhista e militante do PSTU, Aderson Bussinger, dado à delegação hatiana.

Adriano Espíndola
=-=-=-=-=-

Delegação haitiana denuncia ocupação no Senado


Muitas críticas à presença de militares brasileiros no Haiti. Esse foi o tom dos três representantes de movimentos sociais em Audiência Pública no Senado brasileiro, nesta quarta-feira, 17.06.2009. A audiência foi promovida pela Comissão de Relações Exteriores e Defesa Nacional (CRE).


O haitiano Didier Dominique, representante do movimento Batay Ouvryie, afirmou que a presença de tropas da Missão das Nações Unidas para a Estabilização do Haiti (Minustah) em seu país é parte de um projeto imperialista, cujo objetivo é aproveitar a mão-de-obra barata para indústrias que se instalam em novas zonas francas.“Este é um projeto imperialista, do qual participa o vice-presidente brasileiro José Alencar, dono de empresas têxteis, que enviou seu filho para conhecer as zonas francas do Haiti”, disse o haitiano à Agência do Senado.


Frantz Dupuche, membro da Plataforma Haitiana em Defesa de um Desenvolvimento Alternativo, também foi contundente ao informar os senadores sobre as consequências da ocupação. “Vimos informar os senadores brasileiros que o desempenho da Minustah é um fracasso por não cumprir sua meta de estabilizar o país. Trouxemos fotos de zonas com hospitais e escolas que foram bombardeadas com gás [lacrimogêneo] pelos soldados da ONU” (Folha Online, 17/6/2009).


Participaram, também, da audiência o advogado Aderson Bussinger, integrante da Comissão de Direitos Humanos da seção do Rio de Janeiro da Ordem dos Advogados do Brasil (OAB) que esteve no Haiti em 2007, Sandra Quintela, coordenadora da Rede Jubileu Sul, e Antonio Lisboa Leitão de Sousa, representante da Coordenação Nacional de Lutas (Conlutas) que esteve no Haiti em maio.


Aderson disse que as tropas da ONU estão ajudando a polícia haitiana a reprimir o movimento sindical. Um exemplo citado por Sandra Quintela foi a mobilização por reajuste de salários realizado no início de junho que foi duramente reprimida pela polícia e por soldados da Minustah. Um estudante foi baleado na cabeça, durante manifestações na capital do país.


Outro exemplo foi a repressão ao ato realizado por trabalhadores no 1° de maio, lembrado por Antonio Lisboa que estava no Haiti nesta data como integrante de uma caravana da Conlutas. “O Brasil deveria se retirar imediatamente do Haiti, onde existe uma situação de típica ocupação , declarou Aderson Bussinger.


No final da audiência, o senador José Nery (PSOL-PA) propôs que uma comitiva de senadores visite em breve o país caribenho para se interar das denúncias realizadas pela delegação haitiana.


Os representantes haitianos continuarão sua visita pelo Brasil até o dia 25


Além da visita ao senado, a delegação haitiana participou de diversas atividades no Brasil nos últimos dias. Didier Dominique, sindicalista haitiano, no dia 19, sexta, participou de panfletagens na porta da Mannesmann e visitou duas ocupações realizadas por movimentos de luta pela moradia em Minas Gerais. A comissão haitiana também participou de audiência com a presidência da Câmara de Vereadores de Belo Horizonte e de um encontro com a comissão de direitos humanos da Assembleia Legislativa de Minas. Dominique,participou, ainda, de uma palestra com a Conlutas, movimentos sociais e Sindicato dos Servidores Municipais de Belo Horizonte. Em São Paulo, houve um debate com Carole Pierre Paul-Jacob no dia 19, à noite, na PUC-SP.

Abaixo a violência contra os homossexuais!
Todos ao Largo do Arouche dia 20 às 19h.
Em resposta a covardia homofóbica, avançar na nossa organização
GT GLBT da Conlutas-SP


No último domingo no Largo do Arouche em São Paulo, depois da Parada do Orgulho Gay, a explosão de uma bomba de fabricação caseira feriu pelo menos 30 pessoas. O Arouche é um espaço tradicionalmente freqüentado por gays, lésbicas e transgêneros e, como era de se esperar, em decorrência da Parada, estava lotado. É impossível não compreender essa explosão enquanto um covarde atentado homofóbico. No mesmo dia, também na região da República, um homem de 35 anos foi agredido, sofreu traumatismo craniano e morreu. Sabemos que a tática dos grupos que realizam esse tipo de ação é impor o medo e a omissão através da violência. É necessário que não nos calemos e que busquemos saídas coletivas derrotando assim a tática da covardia usada pelos grupelhos neofascistas.
A administração pública tem obrigação de tomar todas as medidas para assegurar a proteção da população e isso não foi feito, uma vez que não havia policiamento no local no dia da agressão.
Os governos não podem mais ficar omissos com relação a isso. É preciso que todas as entidades e grupos pressionem o Ministério Público. Queremos a identificação e prisão dos assassinos. Pelo fim da impunidade aos crimes homofóbicos!

Construir um calendário unificado de lutas
É importante nesse momento, deter a violência fascista. Para isso devemos estar dispostos a superar nossas diferenças e somar nossos esforços em torno daquilo que é comum. Neste sentido, chamamos a unidade junto a Associação da Parada e todos aqueles que se opõem a brutalidade contra os oprimidos.
Essa não é a primeira ação e nem deve ser a última a combater essa situação de omissão diante da violência. Propomos avançar em nossa organização, construindo um calendário de mobilização conjunto para nos fortalecer na luta contra a violência homofóbica e para arrancarmos os direitos que nos são negados.

Pelo fim da violência homofóbica!
Pela aprovação imediata da PL 122/06 que criminaliza a homofobia!
Combate a todas as formas de expressão da homofobia, do racismo e do machismo!
Investigação e punição de todos os responsáveis pelos crimes homofóbicos!
Unidade na luta contra a homofobia!


Denuncie a violência homofóbica gtglbt@conlutas.org.br

Thursday, June 18, 2009

Fórum Mineiro em Solidariedade ao Povo Haitiano

Pela retirada das tropas de ocupação da Minustah!

Convida:

A ocupação promovida pela ONU, através de tropas chefiadas por brasileiros, aprofunda ainda mais a situação de miséria e a falta de soberania do povo haitiano. Uma campanha internacional está sendo lançada para retirada imediata das tropas do Haiti. Como parte desta campanha está no Brasil, Didier Dominique, membro da Central Sindical e Popular Batay Ouvriye.

Didier está em Belo Horizonte para divulgar essa campanha e expor a situação de seu país. O Forum está promovendo uma palestra sobre a situação no Haiti com a presença dele, nesta sexta-feira, 19/6, a partir das 17:30. Compareça e ajude na luta do povo haitiano.

Local: Sindibel

Av. Afonso Pena, 726 8º andar centro, BH-MG

Wednesday, June 17, 2009

Um certo Dr. Castanho...

O personagem interpretado por Stênio Garcia na novela global “Caminho das Índias”, o excêntrico médico “Dr. Castanho” é, sem dúvida, uma figura singular. Escondido atrás de um inconfundível e nunca abandonado – seja dia ou noite, festa ou conversa com um paciente de sua clínica psiquiátrica – óculos escuros (que serviriam para esconder os traços da velhice de Stênio, afirmam as maldosas vozes dos jornalistas dedicados à “vida” das celebridades). Temos um jocoso “alienista” que visita-nos através do enredo do grande passatempo da segunda metade do século XX no Brasil.

Castanho é estranhíssimo... ou não; constituí-se num tipo ímpar, dado as festas de gafieira, nada afeito a jalecos e similares e sempre com o inconfundível óculos de verão. Nas sequencias, bem ao estilo da Sra. Perez, a autora da novela (que insiste em manter um caráter de excessivo didatismo em suas tramas, “ensinando” a “choldra” a acompanhar o desenrolar dos fatos) Castanho/Stênio encontra-se com um personagem médico/aprendiz, residente ou psicólogo, que na verdade fica ali (as vezes meio “bocó”) a fazer perguntas ao psiquiatra, “motes” para um discurso de tese acerca da natureza do psicopata e suas diferenças entre os “loucos” (de “todo o gênero” como diriam nossos Códigos envelhecidos), os esquizofrênicos e côngeneres.

Castanho evoca a característica fundamental das psicopatias: a incapacidade de sentir culpa, de perceber que se está fazendo o mal a outrem; já o esquizofrênico, e similares, enquadram-se na categoria de pessoas que perdem o senso da realidade. Se os primeiros são muitas vezes dotados de uma percepção arguta do real, os segundos são atormentados por alucinações de todo gênero: visuais, auditivas, tácteis e outras perturbações.

Nós outros, que nos consideramos fora tanto destes quanto de daqueles, sentimos ódio profundo dos psicopatas. Não somos capazes de perceber (e deveríamos ser?) que, no seu íntimo, todas suas ações são plenamente justificadas, todas são atos de “Justiça” (ao menos a seus olhos...). Dos “loucos”, nossos nobres corações sentem pena, a prima pobre da compaixão, sendo incapazes de criar uma sociedade que lhes propicie um tratamento digno, a não ser se forem abastados o suficiente para pagar pelos raros leitos psiquiátricos disponíveis em nosso Brasil “anti-manicômios”. Não é a toa que Castanho é proprietário de uma bucólica clínica particular, sendo que a novela nem de longe aborda o problema do tratamento público das enfermidades mentais. O personagem esquizofrênico é um playboy, filho de uma riquíssima família burguesa; a psicopata, por sua vez, destrói com um golpe surreal – em que chega ao ponto de convencer a vítima a forjar a própria morte – arrasa a vida de um dos “Cadore”, que deixa de ser um executivo de sucesso para ser um “bom vivant” em Dubai, até cair na mais completa miséria. A pobre, vilã, num imaginário “psicopata”, faz justiça, é o Robin Hood da Sra. Perez!!

De certa forma, assim, somos cativados pela trama a não ver com tanta “maldade” aquela que engana os “trouxas”, coisa que a TV já torna como regra nos Big Brothers da vida, nos jogos em que a trapaça e o mal caratismo são, no mínimo, indispensáveis.

Somos todos obrigados a perceber que mora dentro de nós outros um pequeno psicopata, dado a sentir frêmitos de prazer com a dor a alheia. O sadismo nosso de cada dia, que se manifesta quando o “outro”, favelado, pobre e excluído, é por nós ignorado e construímos desculpas aceitáveis, mil e umas, tantas vezes, de sua condição. Quando, no trabalho ou em casa, nos valemos de nossos pequenos poderes sem sentir um pingo de empatia (aliás, nestes momentos não sabemos o que é isso). Somos forçados a reconhecer que vegetamos na pobreza de espírito de nossas pequenas psicopatias, construindo uma felicidade torpe às custas da dor alheia.

Se soubéssemos que justamente as qualidades que são opostas a este comportamento – o colocar-se no lugar do outro, a solidariedade, o carinho, o cuidar, o amor em resumo – nos proporcionam sim a verdadeira felicidade... Mas sabemos? E se sabemos, por que...

Bom, deixa pra lá.

Alexandre Magalhães -

Saturday, June 13, 2009


Conlutas e Intersindical repudiam a ocupação da USP pela PM

Fonte: Conlutas

A USP (Universidade de São Paulo) está ocupada com tropas da PM. Uma imagem que remete às cenas da época da ditadura militar. A repressão nas universidades.


Funcionários, estudantes e professores da USP, Unesp e Unicamp realizaram um ato em frente à reitoria da USP nesta terça-feira para denunciar a ação repressiva da direção da universidade que convocou a PM para lidar com os funcionários em greve. Quando o ato já estava se encerrando e os manifestantes retornavam para frente da reitoria, foram disparadas bombas de gás lacrimogêneo pela tropa de choque, deixando feridos e três presos.


Cerca de 200 policiais militares estão na Cidade Universitária desde o último dia 1º, após a solicitação da reitora da USP, Suely Vilela, de intervenção policial para “conter” os piquetes dos funcionários.


É inaceitável a atitude da reitoria da USP. Em vez de negociar, de dialogar, chama a polícia para reprimir. A presença da polícia no campus causou indignação na comunidade, e isso expressa um projeto que vem sendo implementado pelo governo Serra. Projeto que inclui terceirização, arrocho salarial, apropriação do conhecimento produzido nas universidades por empresas e não a serviço da sociedade, precarização do ensino e o fim do ensino público, gratuito e de qualidade.


Além disso, vem sendo desfechado um ataque sem precedentes à organização dos trabalhadores da USP. A demissão do diretor do Sintusp Claudionor Brandão por justa causa é um exemplo disso. Na tarde desta segunda, mais dois diretores do sindicato foram intimados a responder processos administrativos por terem realizado piquetes: os funcionários Anibal Ribeiro Cavali e Zélito Souza dos Santos.


É preciso esclarecer à população que nesses anos as lutas travadas por funcionários, docentes e alunos da USP não foram só salariais ou de interesses específicos, mas em defesa da universidade, pela educação pública para todos e pela liberdade, questões que interessam a toda a sociedade.


Por isso, as Centrais Sindicais Conlutas e Intersindical vêm manifestar seu repúdio à invasão da USP por tropas de choque e manifestar seu apoio incondicional à luta dos trabalhadores, professores e alunos e repudiar atitude repressiva do governo do Estado de São Paulo.


- Pela desocupação imediata da tropa de choque da PM!

- Pela reabertura das negociações com os trabalhadores, professores e estudantes!


Conlutas e Intersindical


Friday, June 12, 2009


José Luis e Rosa Sundermann, presentes!
Há homens que lutam um dia, e são bons
Há outros que lutam um ano, e são melhores
Há aqueles que lutam muitos anos, e são muito bons
Porém há os que lutam toda a vida
Estes são os imprescindíveis!
(Bertolt Brecht)
O assassinato do casal José Luís e Rosa Sundermann completará 15 anos no dia 12 de junho de 2009.
Os dois eram funcionários da UFSCar (Universidade Federal de São Carlos) e militantes do recém fundado PSTU. José Luís era da direção do Sindicato dos Servidores Técnico-Administrativos da UFSCar (SINTUFSCar) e da direção nacional da Federação Nacional dos Servidores Técnico-Administrativos das Universidades Federais (FASUBRA); Rosa havia sido eleita para a Direção Nacional do PSTU, uma semana antes.
O casal de militantes era exemplo na luta por um mundo justo, sem opressão e exploração. Nunca se limitaram a atuar dentro dos “muros” da Universidade, ao contrário, estavam sempre envolvidos nas mobilizações dos trabalhadores da cidade e da região, como por exemplo, nas lutas dos cortadores de cana e trabalhadores da colheita da laranja.
Como foi o crime

Luís e Rosa foram encontrados mortos em casa, às 3h30min. A porta da casa estava aberta, as luzes acesas e a televisão ligada. José Luís estava caído de lado, com duas perfurações de bala no lado esquerdo da cabeça. Provavelmente, ele estava sentado em frente à televisão, quando o assassino entrou, pela porta aberta, e acertou-lhe fatalmente a cabeça. Rosa estava caída ao seu lado. Possivelmente ela viu José Luís ser morto e tentou se defender; o primeiro tiro atingiu-lhe o antebraço; como não a matou, o assassino aproximou-se, quebrou-lhe o maxilar, com a coronha do revólver, encostando a arma em sua cabeça e atirando.
Não houve a preservação do local do crime, as fotos policiais saíram “queimadas”, absolutamente nada foi roubado da casa, sequer talões de cheque ou cartões de crédito. Tudo isso pode ser constatado no Inquérito Policial, aberto há quase 15 anos.

Após 15 anos, a impunidade continua

O Instituto José Luís e Rosa Sundermann, diversos movimentos populares, entidades sindicais e estudantis, familiares, especialistas em direitos humanos, parlamentares, a Comissão de Direitos Humanos da Assembléia Legislativa do Estado de São Paulo e a Ordem dos Advogados do Brasil pressionaram para que a investigação fosse efetiva e que fossem detectados e responsabilizados os culpados. No entanto, sempre houve resistência policial, a ponto de chegarmos na absurda situação de após 15 anos dos fatos sequer uma pessoa ter sido indiciada!
Uma denúncia por negligência governamental na apuração deste crime foi protocolada na Comissão Interamericana de Direitos Humanos (CIDH), ligada à Organização dos Estados Americanos (OEA). No dia 16 abril de 2007, o então Secretário Executivo desta Comissão, Santiago A. Canton, informou que o Estado brasileiro havia sido notificado, sendo que deveria, como decorrência, pronunciar-se sobre o caso, o que não foi feito até hoje!

A contínua criminalização dos movimentos sociais...

Sob o Governo Lula, o caso Sundermann não avançou um milímetro. Não bastasse isso, o que temos visto nos últimos anos é uma continuidade da criminalização dos movimentos sociais, sejam eles do campo ou da cidade: assassinatos (Osvaldo Pereira, Paulo Santos Souza, Dorothy Stang, Raimundo Nonato, Gildeson Cardoso Santana, Gildo da Silva Rocha, só para constar alguns nomes), prisões de militantes, tentativas de homicídio e agressões, repressões policiais às greves e manifestações, demissões de militantes... Infelizmente, são muitos os casos de criminalização daqueles que lutam e impunidade aos autores de tais atos... Mas isso, de forma alguma, intimidará ou freará nossas mobilizações!

A necessidade de fortalecer a luta por um mundo onde não haja exploração e opressão!

O Governo Lula, que foi a esperança de muitos quando o assunto era melhoria das nossas condições de vida, demonstrou ser incapaz de tais mudanças. E foi além: deu continuidade à criminalização daqueles que lutam, seja pela manutenção de direitos, seja por melhores salários, seja por um pedaço de terra, assim como foi incapaz de, minimamente, investigar e por na cadeia aqueles que tiraram à vida de pais e mães de família que militaram pela transformação dessa sociedade por demais injusta.
Esse fato apenas reforça a necessidade em continuarmos lutando, pois somente a organização dos trabalhadores e da juventude é que poderá efetivamente eliminar as desigualdades próprias da sociedade capitalista.
Devemos honrar a luta travada por aqueles que deram suas vidas nessa busca constante pela construção de uma sociedade igualitária!

Participe:
ATO PÚBLICO
Em Memória de José Luís e Rosa Sundermann
Dia 16/06/2009, terça-feira, 9:00hs
No Saguão da Reitoria da UFSCar





"Houve épocas em que as leis da mecânica política, laboriosamente formuladas por Maquiavel foram tidas como o máximo do cinismo...Questões de moralidade não existia para ele... Sua tarefa consistia em determinar a política mais prática a ser seguida relativamente a uma situação dada e em explicar como orientá-la de maneira cruamente impiedosa...

O advento de novos tempos forjara uma nova e mais alta moralidade política. Não obstante, de modo bastante estranho, a oscilação do pêndulo da história nos reconduziu à Época da Renascença, superando-a mesmo na extensão e profundidade de bestialidades e cruezas.

O poder político, do mesmo modo que a moralidade, não se desenvolve ininterruptamente para um estado de perfeição... Como regra, poder-se-á dizer que quanto mais aguda e intensa a luta de classes, quanto mais profunda a luta social, tanto mais intensamente se dispensa os enfeites da moralidade” (Léon Trostsky, em Os processos de Moscou, editora Traço)

Em face do abismo ideológico existente entre Jorge Ferreira e eu, por um lado, e por outro, em face do referido senhor ser pai do meu enteado e, por conseguinte, ter com minha pessoa uma mínima, mas importante, relação pessoal, tenho publicamente mantido silêncio sobre as graves acusações que pesam sobre o vereador em questão.
Antes de mais nada, ainda que isso não fosse necessário em face de minha conduta e posições políticas, quero ressaltar minha total execração, meu repúdio e combate, às praticas de improbidade administrativa e assédio sexual.
O atual prefeito de Uberaba, por exemplo, responde alguns processos por improbidade administrativa originados em representações das quais fui patrono, ou mesmo autor, perante o Ministério Público.
Por um outro lado, em meu escritório advocacia patrocinei um número considerável de ações por danos morais, em face de assédio sexual perpetrados por patrões com perfil psicológicos doentios contra suas empregadas.
Ademais, sou militante e dirigente de um partido político, o PSTU, o qual nada tem haver com a presente manifestação, que repúdia e combate cotidianamente a corrupção e o machismo, aos quais a improbidade administrativa e o assédio sexual está extremamente ligado.
Quero dizer, ainda, que as informações que tive acesso sobre o caso foram aquelas divulgadas pela imprensa e, ainda, a pela TV Câmara, em especial na transmissão da sessão na qual foi instalada a Comissão Processante de Jorge Ferreira, quando foi lida carta registrada em cartório por servidores da Câmara que, segundo se dizia, relatava o assédio sexual e improbidade administrativa.
Por Jorge Ferreira, ou José Severino (a quem tenho grande apreço pessoal) e tampouco pela imprensa, não tive acesso ao relatório final da comissão processante, que dizem tem mais de mil páginas.
Neste diapasão, ainda que eu viesse preferindo o silêncio, pelas questões já colocadas, considerando os questionamentos contínuos que venho recebendo no dia-a-dia sobre o tema, já que sou um dos expoentes da oposição de esquerda em Uberaba, resolvi, por fim, me manifestar.
Deste imbróglio três fatos me chamaram a atenção, a saber: 1. A posição do Ministério Público; 2- A presidência da Comissão Processante por quem entendo impedido e 3- A rapidez da comissão em chegar às suas conclusões, sem pedir prorrogação de prazos em seus trabalhos.
Assim, como é de conhecimento de todos, o Ministério Público, através do ilustre e competente Promotor de Justiça Dr. José Carlos Fernandes, paralelamente à Câmara Municipal, instalou um Inquérito Civil Público para apurar os graves fatos que pesam contra Jorge Ferreira. O promotor agiu sem ser acionado por ninguém, mas dentro de suas funções, após tomar conhecimento do caso pela imprensa.
Com a agilidade que lhe é peculiar, o douto promotor, após oitiva de testemunhas de acusação (creio que as mesmas ouvidas pela Comissão Processante) e do próprio acusado, concluiu por indícios de veracidade nas acusações formuladas, optando pela proposição de Ação perante o Judiciário, através da qual, se provadas as acusações que pesam contra o vereador, o mesmo terá, entre outras penas, o mandato e direitos políticos cassados.
Na referida ação judicial, ao acusado será dado o amplo direito de defesa.
Ademais, ao contrário do que normalmente pede em suas ações análogas ao caso de Jorge Ferreira, o ilustre promotor citado não pediu decisão liminar, ou seja, uma antecipação da decisão do processo antes do seu fim, que no caso resultaria, se pedido e deferido pelo juiz, no imediato afastamento de Jorge.
Pela seriedade do ilustre Dr. José Carlos, só posso concluir que assim ele agiu pelo fato de que as testemunhas por ele ouvida, na fase de inquérito de seu trabalho, testemunhas essas que são as mesmas ouvidas pela Comissão Processante, não foram suficientes para formar a convicção total acerca da veracidade das acusações que pesam contra Jorge Ferreira.
Desta forma, chama a atenção de que o promotor que é do ponto de vista político totalmente alheio às disputas e interesses na Câmara, não tenha pedido o afastamento imediato de Jorge Ferreira, optando por uma maior investigação, ao mesmo tempo em que a Câmara, através de sua comissão, opta pela imediata cassação.
No que tange a Comissão Processante, ainda que presidida por um vereador experiente - bacharel em Direito e Delegado de Polícia aposentado - creio que a mesma teve sua formação viciada, exatamente por tal vereador dela estar participando.
Entretanto, antes de continuar nessa questão da formação da comissão, quero tecer comentários sobre as declarações registradas em cartório pelas testemunhas de acusação e que foram lidas no plenário da Câmara, quando da instalação da Comissão Processante.
Causa-me extremo estranhamento - em virtude da experiência com vítimas de assédio sexual que já defendi em meu escritório – a opção feita pelas supostas vítimas de Jorge em registrar as declarações em cartório, visto que, ao assim agir, elas acabaram por se expor, de forma pública, tão constrangedora e humilhante situação.
Todas, repito, todas as mulheres que atendi, nestes quase 12 anos de exercício da advocacia, vítimas de assédio sexual, tinham extrema dificuldade e resistência, porquanto se sentiam ultrajadas, para falar sobre o assédio que sofreram.
Somente após ser demonstrado para essas mulheres que os seus processos correriam em Segredo de Justiça, ou seja, que praticamente ninguém, além dos advogados, do acusado e do juiz, teria acesso ao caso, as mesmas concordaram por mover processos contra seus assediadores.
No caso em comento, portanto, considerando a função pública exercida pelo acusado, o normal seria as assediadas procurarem um advogado ou mesmo o promotor para relatar seu caso e não um cartório, para lavrar escritura pública sobre as acusações.
Um advogado que eventualmente fosse por elas acionado, certamente acionaria o Ministério Público para apurar o caso e, até mesmo acionaria o Município e o acusado, em ação própria, exigindo indenização por danos morais.
Mas, um importante detalhe, tudo correria em Segredo de Justiça e sem alarde político como agora está ocorrendo, não expondo as vítimas à curiosidade pública e tampouco o acusado à penalização sem a plenitude do direito de defesa.
Ao final deste procedimento discreto, mais eficaz, certamente o vereador, se culpado, seria de imediato cassado.
Falando em registro em cartório, mais uma vez segundo o que se publicou na imprensa, as vítimas, ou seja, testemunhas de acusação, fizeram o referido registro acompanhadas de um diretor, de um procurador e de um vereador da Câmara Municipal, que, ainda segundo os jornais, seria Luiz Dutra.
Assim, se de fato o assédio ocorreu, esse procedimento das vítimas, fez surgir uma nuvem de dúvidas sobre a veracidade de suas acusações,o que é lamentável, uma vez que defendo que toda a forma de machismo seja reprimida e devidamente punida.
Ao agir como agiram, as supostas vítimas abriram a possibilidade de se interpretar sua conduta com a dos maus policiais que plantam armas junto à vítima inocente que fora por eles assassinada!
O pior, mesmo após tudo ter vindo à tona, inclusive o nome das vítimas, nenhuma outra providência, além da denúncia em cartório, foi por tomadas.
Neste contexto, pergunto será que as vítimas não se sentiram moralmente abaladas por ser assediadas? Ou será, que a motivação da denúncia não foi exatamente a mesma motivação que de outras mulheres assediadas sexualmente que procuram socorro em face da situação que viveram?
Já no que toca ao ato de improbidade, segundo a imprensa o vereador retinha parte dos salários de seus assessores. Prática grave e que espero seja devidamente apurada na ação judicial, pois se verdadeira há de se investigado se Jorge Ferreira era o único que a praticava em Uberaba.
Mas, ainda assim, mais uma vez segundo a imprensa, uma das vítimas, alega que recebia apenas o vale-refeição fornecido pela Câmara, tendo todo o seu salário, inclusive o cartão bancário, retido pelo vereador Jorge.
Pergunto: A comissão processante requisitou ao banco, no qual é feito o depósito dos salários dos servidores da Câmara, extratos da conta do referido servidor? Neste documento consta o dia dos saques de seus vencimentos.
Os bancos hoje, fato de conhecimento de todos, inclusive os caixas eletrônicos, filmam a pessoa realizando o saque.
Pois bem, se não foi o próprio servidor que recebeu seu pagamento, certamente quem o fez em seu nome foi filmado.
Desta forma, as imagens do sacador comprovariam a inocência ou a culpa de Jorge Ferreira.
Mas, ao que parece, tal procedimento não foi adotado pela Comissão Processante, o que é lamentável.
Por fim, pergunto, o que fazia um advogado, um diretor e um vereador da Câmara de Uberaba no cartório, quando do registro das acusações de assédio e improbidade?
Uma pergunta que não foi respondida e que demonstra toda a conotação política que envolve o caso, ainda que as acusações, eventualmente, sejam verdadeiras.
Ademais, a presença do Sr. Luiz Dutra no cartório no referido dia, além do fato do seu interesse pessoal no deslinde do caso, visto que seu genro preside o partido do qual o suplente do Jorge Ferreira faz parte, deveria ter levado o citado vereador a não aceitar sua indicação para comissão processante, ainda que esta tenha se dado por sorteio.
Evitaria, se assim agisse, que pairasse sobre os trabalhos da comissão processante a densa sombra da manipulação, o que, com todo o respeito ao amigo José Severino, juntamente com a extrema rapidez do trabalho desta comissão, só faz aumentar a desconfiança dobre o que está realmente se dando nos corredores da Câmara Municipal de Uberaba.
Por fim, ainda que Jorge Ferreira seja pai de meu enteado, um maravilhoso garoto de 11 anos de idade (relação pessoal que volto a frisar para evitar comentários no sentido de que eu ajo por interesses), não estou, até o momento, convencido de sua total inocência.
O que eu tenho certeza é que está em curso, em Uberaba, ao menos na Câmara de Vereadores, uma inquisição, nada santa, cujo a mesquinharia e interesses pessoais, estão colocados em primeiro plano, acima da necessidade da busca da verdade real. É o que muitos chamam de processo político.
Apenas a anulação dos trabalhos desta comissão processante, com a formação de uma nova comissão, cujo os trabalhos sejam divulgados na TV Câmara, e com autorização da população acompanhar pessoalmente seus trabalhos, pode afastar o cheiro fétido de fraude que corre no ar.
Sou, uma vez que advogado, terminadamente contra punições ou absolvições de quem quer que seja, sem um processo que garanta o amplo direito de defesa, sem manipulações espúrias.
Por fim, como o Judiciário é lento e também suscetível às pressões políticas, sugiro a Jorge Ferreira, que afirma para todos que é inocente e vítima de armação política, que faça como fez Léon Trostky, diante das farsas dos Processos de Moscou, que lhe foram movidos, em armação política, por ordem de Stálin: SEJA QUAL FOR O RESULTADO DA VOTAÇÃO SOBRE SEU PEDIDO DE CASSAÇÃO, CONVIDE O MOVIMENTO SOCIAL ORGANIZADO (SINDICATOS, IGREJAS, MOVIMENTO DE BAIRROS, ETC), A ORGANIZAREM UM TRIBUNAL POPULAR PARELELO, NA BUSCA DA VERDADE REAL, que segundo o referido vereador nada tem haver com o que diz a comissão processante.
Trotsky assim agiu e demonstrou para todo o mundo a farsa das acusações que lhe eram feita nos processos de Moscou.
Se Jorge realmente fala a verdade, nada tem a perder com a criação de um Tribunal popular, ao contrário terá a oportunidade de resgatar a sua dignidade, que pode estar sendo injustamente agredida.

Uberaba, 11 de junho de 2009.


ADRIANO ESPÍNDOLA CAVALHEIRO
Advogado

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

FREE HOT VIDEO | HOT GIRL GALERRY