|
---|
Thursday, August 6, 2009
Di pagi hari yang dicari pertama sekali adalah harian KOMPAS, Bisnis Indonesia atau Jakarta Post. Sesudah itu baru kopi dan roti tawar bersama dengan slei strawberry atau kacang.
Dia mengambil kursi kecil kaki rendah untuk duduk diteras samping timur dipinggir kolam, di mana ikan warna warni berenang tenang menggerakkan ekornya, tak terganggu atas kehadirannya.
Kursinya digeser agak menjauh dari tembok berwarna alami, dari mana air terjun jatuh, agar tidak terkena tempias butir butir air. Tembok itu saya design layak nya batu gunung alami. Matanya tanpa berpaling dari koran, tangan kirinya menjangkau cangkir dan menghirupnya selagi panas. Nampak sekali dia menikmati berita, kopi dan sandwichnya.
Harus kuakui, selama bersama dalam satu atap, satu kamar dan satu ranjang tak terasa ada hal hal yang istimewa. Rutinitas tsb terulang berputar kembali setiap hari. Tetapi, disitu dia bertugas ke luar kota, ke Luar Negeri, training berhari hari atau berbulan bulan, baru terasa ada sesuatu yang hilang, kurang lengkap didalam rumah dan.....di dalam hati yaitu wajahnya yang putih bulat.
Di awal tahun 1990an, jalan tol Semanggi - Tanjungpriok relatif sepi, hampir setiap hari Jumat,dikala karyawan lain sedang sholat dan dilanjutkan dengan makan siang yang disediakan Kantor, dengan setia dia memilih makan siang di rumah kami di Jl.Janur Elok XII, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Jarak Semanggi (Jakarta Selatan) - ke rumah (Jakarta Utara) masih dapat dicapai 35 menit.
Biasanya, jam 2 siang Kantor Pusat BRI baru sibuk kembali, sehingga di hari Jumat waktu istirahat cukup panjang, sekitar 2 - 3 jam.
Dia sebenarnya tidak termasuk kategori pelit, hanya dia tidak mudah menmberikan uang jika kurang jelas tujuannya. Saya tahu dia punya Tabungan atas namanya di Bank (bukan BRI), hanya saya tidak tahu berapa jumlahnya. Kalau saya perlu uang tinggal telepon, berapapun jumlahnya, dia kan mengusahakannya.
Ketika saya tertarik BMW type kecil 318 warna hitam, dia langsung membayar Down payment dan selanjutnya untuk mencicil itu kewajibannya, saya tidak tanya uangnya dari mana. Sedang Mercy putih type C180 besutan 1998 yang baru keluar, dia sanggup bayar cash, segera setelah buka perusahaan sendiri di Tanjungpriok, baru saja meninggalkannya di BRI.
Jika sudah pulang ke rumah dan menjelang malam, maka Warta berita di Metro T.V dan CNN menjadi agenda utama. Sedang Cinetron dia tidak begitu senang, dia lebih senang membaca Koran dan Majallah Bisnis seperti Mingguan Kontan, Majallah Info Bank, Reader Digest dan Novel, terutama Novel berbahasa Inggris, seperti Novel yang dia beli satu koper lebih, sewaktu dia pulang dari Amerika di awal tahun 2008 yang lalu.
Di pagi hari dia sering pergi dengan mountain bike warna merahnya lengkap dengan back pack. Ini berarti dia akan pergi ke kolam renang Tirta Mas, Kayu Putih, sekitar 6 km dari rumah. Sehabis renang, dia akan menulis statusnya di Face book, kalau dia sangat capek, karena mampu berenang 10 kali bolak balik @ 50 meter atau sejauh 1 km. Akibat renang diterpa panas matahari, sekarang wajah dan kulitnya berubah dari putih agak kehitam hitaman, lebih macho dibandingkan ketika warnanya putih.
Jika dia dia pulang renang menjelang tengah hari di panas terik dengan sepedanya. itu berati dari kolam renang dia langsung ke Jalan Balai Pustaka, Rawamangun,untuk mengedit Autobiographynya. Kalau dihitung hitung dia menepuh 10 - 12 km lebih naik sepeda plus 1 km renang. Itu sebabnya penyakit jauh darinya.
Sesekali dia menulis statusnya di Face book: "Capek...bersepeda dari Kelapa Gading - Monas - Thamrin - Sudirman - Senayan - Monas - Kelapa Gading". Walau sudah termasuk senior (usia 66 thn), dia masih tetap meneruskan hobbynya naik sepeda dengan segala risikonya. Padahal pada tahun 2003 lalu dia pernah di tabrak sepeda motor dan kepala membentur aspal, berdarah dan di jahit di Rumah Sakit. Ia tetap tidak jera. Bahkan dengan machonya dia sangat bangga memasang fotonya di profile Face book bersama dengan sepeda.
Sifat, gerak gerik, tingkah laku, suara TV, koran, sepeda, kelak akan menghilang dari mata dan telinga, tetapi tidak akan sirna dari dalam hati dan akan datang membayang tanpa disadari. Wajahnya yang bulat dan kulitnya yang relatif putih itu, kelak tidak akan kelihatan lagi baru akan terasa something missing, his face.
Memang dia penyabar dan jarang marah. Tetapi kalau dia marah sangat menakutkan dan menjengkelkan karena akan keluar kata kata kasar, yang jarang keluar dari mulutnya. Persis mengcopy sifat Ayah mertua. Jika dikenang kembali sifat ke bapakannya, sifat machonya, ke polosannya, jauh dari politik, tidak senang dusta, membawa damai di hati.
Terus terang, kadang kala ada sifat sifatnya yang menjengkelkan dan tidak kusukai. Sifatnya yang lembut dan tutur katanya yang sopan, terutama kepada wanita, membuat saya jengkel. Walau sering saya ingatkan, dia sering pula lupa dan mengulanginya lagi
Memang itulah kharakter aslinya. Kharakternya itu sudah terbentuk dari lingkungan keluarga, dimana dia adalah anak laki laki tunggal diantara 5 saudara perempuannya, lingkungan kuliah di Yogjakarta, lingkungan kedisplinannya sebagai kepala Cabang BRI - memang harus tegas - dan staf senior di BRI Pusat, semua itu membentuk kharakternya, yang tidak mungkin dia robah. Memang begitulah sifatnya. Jika bukan begitu, dia bukanlah suami saya. Saya tidak bisa memaksanya supaya dia bertindak seperti orang lain. Sifatnya ya begitu.
Dan wajah itu, paras yang PDnya tinggi itu, tetap menjaga penampilan sebagai mantan Pejabat BRI, akan tetap terpatri di hati dan fikiran saya. Kenangan bersamanya tidak akan pupus sepanjang masa dan akan tetap memotivasi, mengisi hari hariku.
Rauli Pasaribu (isteri)
Labels: FAMILY
0 Comments:
Subscribe to:
Post Comments (Atom)