|
---|
Wednesday, July 1, 2009
Photo : Perpustakaan di La Habra, CA
Pendahuluan.
Airmata sering diasosiasikan sebagai wujud kesedihan, walau kadangkala muncul karena rasa bahagia. Disamping itu, bisa juga dikaitkan dengan gender, dimana sifat gampang mencucurkan air mata itu adalah sifat kaum hawa seperti mudahnya buaya menangis. bahkan ekstrimnya wanita dikatakan bisa memanfaatkan airmata sebagai senjata untuk mendapatkan sesuatu.
Sebaliknya, pria dicemooh kurang macho jika sampai menangis, feminin dan kurang jantan.
Paving block.
Banyak sebab seseorang sampai mencucurkan airmata, yang paling umum adalah dukacita, perpisahan antara mereka yang saling saling mengasihi, bisa juga karena mengenang seseorang.
Tetapi sedih dan mata berkaca kaca karena melihat Paving block, trotoar pinggir jalan, rada aneh.
Peristiwanya sendiri, hari Jumat tgl.21 April 2008 diatas Samudera pasifik, saya sedang menonton TV mini disandaran kursi pesawat China airlines CI 001 Los Angeles - Taipei - Cengkareng. Seorang Bapak dan anak sedang berjalan diatas paving block yang tertata rapi, ditengah trotoar lebar ini ditumbuhi rumput dan disebelah dalam, pekarangan rumah rumah, terhampar rumput hijau rapi, dirawat dan ditata dengan apik. Sejuk dipandang mata sepanjang jalan yang ditapaki.
Paving block seperti inilah yang saya lalui setiap hari dari Library - Rumah anak saya nomor dua di La Habra city, California Selatan. Itulah yang terbayang ketika melihat film tadi. Karena jaraknya hanya empat block jauhnya, saya biasa jalan kaki sambil olahraga atau naik sepeda dengan bacpack dan laptop didalamnya.
Design paving block itu, disetiap ujung atau didepan rumah rumah dibuat landai, sehingga tidak perlu turun dari sepeda. Jika malam saya pulang dari perpustakaan, kadang saya dijemput karena udara sangat dingin. Baju 3 lapis, sarung tangan dan topi tak kuasa menahan udara dingin melewati rumah rumah warga Mexico dengan suara radio super hoofer. Tiap langkahku di paving block yang bersih itu merekam memori, tinggal bersama anak dan menantu selama satu semester, mengurai embun dimataku.
Paving block in front Mon house
Paving block in front Mon house
Paving block di film seperti mengiris bawang merah, sesuatu membasahi pipi tak terasa, karena beberapa jam sebelumnya, anak saya Monang baru memeluk saya, say good bye di Bandara LAX, Los Angeles. Anak teman main dikala kecil, yang saya besarkan sampai lulus SMA-PSKD Jakarta, sekarang tinggal jauh disana sudah berpuluh tahun. Tidak tahu kapan lagi kami akan berjumpa. Akankah saya akan menapaki paving block itu lagi. Paling dia yang kangen keluarga dan tanah kelahirannya. Jika disuruh memilih, walau dengan kenyamanan di State, saya akan tetap memilih di Indonesia dengan segala kekurangannya. I belong to my community and my family.
Reach stacker @Tanjungpriok port
Reach Stacker.
Reach stacker @Tanjungpriok port
Reach Stacker.
Peristiwa lain yang made me cry adalah dampak tsunami ekonomi yang dahsyat melanda Asia medio 1997. Perusahaan kami, P.T.Monang Brothers Container yang telah 3 tahun beroperasi bongkar muat Container di pelabuhan Tanjungpriok, bahkan sering bekerja sampai 24 jam non stop, harus melempar handuk, menyerah, berhenti beroperasi karena import nyaris lumpuh seiring kurs dollar yang menggila hingga Rp.15.000,- per dollar. Barang import nyaris tidak ada. Tidak ada Container yang akan diangkat. Disatu fihak income rental hilang, sedang difihak lain cicilan hutang ke Lessor, PT.EXIM Sumitimo Bank sebesar US$ 1 juta, jalan terus tidak boleh menunggak. Nunggak 3 bulan saja Rp. 225 juta. Mana tahan.
Disuatu siang, matahari diubun ubun, AC dalam Corolla merah darah itu tidak kuasa mendinginkan cuaca panas udara, panas hati dan mata perih menyaksikan 2 unit alat berat Reach Stacker bermerk Monang1 dan Monang2 warna merah manyala, bergerak beringsut, roda roda raksasanya beringsut meninggalkan home base di Gudang 005 menuju lokasi baru milik Leasing company. Kami mengekor dari belakang hingga tiba di lokasi baru. Untuk terakhir kalinya dua alat berat berwarba nerah itu hilang dari pandangan mata. Dengan jantannya saya tegar sambi memegang kemudi dengan gemas, mata saya berembun dipanas hari itu, berkaca kaca tanpa dinyana.
Istri saya disebelah saya termenung dan tertegun, membisu seribu bahasa.
Penghasilan rutin Rp.130 juta sebulan dan angsuran Rp.2 milyard selama 3 tahun hilang sekejap.
Kami pulang hanya mengantongi selembar surat keterangan Lunas dari Leasing serta Berita Acara Serah terima alat berat.
Akibat lanjutannya tidak dapat dihindarkan, status tiga orang anak yang sekolah di State, beralih dari Students menjadi karyawan karena transfer bulanan dari usaha rental ini berhenti total. Untuk pertama sekali tahun 1998 ketiga anak menjadi independent, mencari makan sendiri. Akhirnya kami beri plihan bebas, Stay or go home.
Penutup.
Hidup berjalan terus, anak harus bekerja meninggalkan orangtuanya untuk bersatu dengan pasangan masing masing. Demikian juga, harta bukan sumber kebahagiaan satu satunya. Saya yakin sehelai rambut dikepala tidak pernah luput dari perhatianNYA. Kalau jatuh tak sampai tergeletak, tanganNya tidak kurang panjang untuk menatang. Tuhan akan membaringkan dirumput yang hijau.
Kalau pria meneteskan air mata, bukanlah sifat cengeng atau feminin. Biarkan sumbatannya terbuka mengalirkan air mata cinta kepada istri, anak dan keluarga.
Labels: TRAVELLING
0 Comments:
Subscribe to:
Post Comments (Atom)