|
---|
Friday, July 31, 2009
Rumah Monang, La Habra, CA
Rasa perih akan meninggalkan Los Angeles di bulan Mei 2008 seperti tidak akan menginjak L.A lagi meninggalkan anak saya nomor 2, Monang Situmeang yang telah hidup dan menetap disana sejak thn 1990an dan telah menikah dengan warga Amerika kelahiran Jakarta. Anak, teman bermain sejak kecil, sekarang akan saya tinggalkan setelah bersama selama 6 (enam) bulan, kebersamaan yang jarang.
Dengan kecepatan 40 miles per jam, Lexus biru itu meluncur dari kota La Habra menuju Bandara Los Angeles, LAX. Karena sudah larut malam jalanan free way itu tidak begitu padat dan Bandara dapat dicapai hanya dalam waktu 45 menit. Turun dari mobil mendorong kereta berisi 2 koper besar, sambil memperhatikan sekeliling. Dalam batin timbul pertanyaan apakah ini the last time I saw L.A. Bisa kah kami kesini lagi sekeluarga ber sama sama?
Sambil menunggu waktu chek in 30 menit lagi, saya sempatkan berkeliling Ruang kebe
rangkatan yang penuh dengan penumpang keberbagai tujuan. Perasaan terasa tersayat perih, mengenang masa lalu bersama keempat anak berkumpul disini, sekali gus miris akan meninggalkan anak kedua yang sudah belasan tahun, nikah dan bekerja di State.
Setelah selesai check in, kami naik ke Lantai 1 memesan kopi dan snack, persis tengah malam, satu jam sebelum take off jam 01 am. Ditempat ini pula kami sering minum bersama 3 anak, yang mengantar kami bila waktu pulang ke Jakarta. Kenangan ini rewind seperti baru saja terjadi, pada hal sudah sepuluh tahu yang lalu, sebelum krisis tahun 1998.
Monang (baju putih)
Sambil menanti panggilan boarding, saya sempatkan berpesan kepada anak saya : "Mon, waktu cutimu jangan dihabiskan, sisakan beberapa hari", kata saya. Dia tidak mengerti maksud saya dan menjawab :"Tahun lalu saya kan sudah cuti ke Indonesia papi", katanya. Sambil meneguk kopi panas saya menambahkan :" Jika ada apa apa sama mami/papi, kamu bisa datang ke Jakarta anytime", kata saya menjelaskan. Dengan tenang dia menjawab :"Kalau ada hal yang sangat penting, boleh kok minta cuti khusus", katanya dengan mantab.
Selama satu semester tinggal di Amerika, ada hal yang aneh dan lucu dipandang dari kaca mata Kebudayaan Indonesia terutama dari sudut pandang adat Batak (walau saya tidak begitu kental mengikutinya). Saya dan besan, warga keturunan, beristeri suku Batak, sering jalan bersama. Jika dia off dari pekerjaannya di detention center, dia akan menjemput saya.
Pagi pagi dia mengetok kamar saya :"Pak Situmeang, ayo kita exercise", katanya. Dengan Jeep machonya kami berdua berangkat ke fitness building. Di counter dia hanya bilang :"He is my friend", saya mencatatkan nama tanpa bayar, langsung excersise. Rupanya besan sekeluarga member disitu, tapi jarang dipergunakan.
Setelah exercise di lantai 1 untuk otot atau lari di sepeda stationer, dilanjutkan di lantai 2 dengan latihan beban punggung, tangan dan perut. Satu jam cukup menguras keringat dimusim dingin itu. Sambil menunggu pendinginan badan, besan berkata :"Kita mandi air panas di kolam ya", katanya. Sementara lupa dengan kebudayaan Indonesia dan adat Batak (dalam lingkungan Amerika), sayapun ikut turun lagi ke lantai satu. Diruang ganti kedua besan buka baju, sisa pakaian renang. Kemudian melangkah masuk ke kolam hanya dengan pakaian minim. Di kolam bundar kecil itu ada 4 orang lain.
Punggung disemprot dari dinding kolam, rasanya seperti reflexy dipijat pijat dan panas air yang cukup membuat badan segar kembali. Setelah penat hilang, saya diajak lagi:"Mari kita ke ruang spa", katanya.Dua ruang spa hanya beberapa meter dari kolam. Sebelum masuk ruang spa, badan disiram dulu dengan air dingin dari shower air . Dengan hanya memakai handuk, kedua besan ini duduk bersama beberapa orang lain. Keringat bercucuran tiada henti.
Buat saya ini kebersamaan yang unik diantara besan. Dari raut wajahnya, besan saya tidak ada perasaan sungkan, menganggap itu hal biasa dalam lingkungan setempat. Sama biasanya seperti saya diantar oleh menantu saya ke perpustakaan, ke dokter ke mal atau ke tempat lainnya. Dalam budaya Batak, kedua hal tsb sedapat mungkin dihindari.Kebersamaan seperti ini mungkin for the first and the last time buat saya.
Karena merasa merupakan the Last time ke Library, saya luangkan waktu yang cukup lama memilih Novel.Seorang senior citizen wanita, petugas perpustakaan khusus buku buku second dengan ramah menyambut seorang pengunjung senior dan saya. Tanpa sungkan dia berkata :"You are handsome if you smile", katanya, sambil melajutkan :"You buy a lot of books", katanya.
Novelis Nora Robert
Memang saya membeli Novel Novel karangan Novelis ternama seperti Nora Robert, Mary Higgin Clark, Anne Rice dan David Baldaci. Saya jawab:"I will take it home to Indonesia",sambil membayar. Harga Novel second hanya $ 1 dan relatif masih baru. Disana ada kebiasaan menyumbangkan Buku bekas dan dijual kembali dengan harga murah.Bahkan ada perpustakaan yang menggelar event khusus penjualan khusus Novel second.Peminatnya juga berjubel
Tidak saya sia siakan pula pergi ke Toko Buku besar Borders menjelajahi rak rak buku. Ternyata di rak khusus dijual dengan discount seperti Buku buku Biography tokoh terkenal dan Buku Rohani yang di Indonesia, harganya pasti ratusan ribu rupiah. Di sini cuma dijual paling mahal $ 5.
Ketika check ini di Bandara petugas loket Cberkata hina Airline berkata :"Overweight cost is $ 105". Merasa ongkos itu mahal, saya berkata kepada anak saya :"Ga apa apa, papi tinggal saja koper ini", seraya melanjutkan :"Nanti kirim secara bertahap saja", kata saya. Tetapi dia berpendapat lain dan menjawab:"Tidak apa apa pi", katanya sambil menyerahkan Credit card untuk membayar.
Itulah cerita The last time I saw.....Los Angeles
Labels: TRAVELLING
0 Comments:
Subscribe to:
Post Comments (Atom)