PUISI ISI HATI LELAKI
Penyair dari golongan beda usia dari tiga generasi ingin ditelisik benang merah dan makna isi hati mereka. Sepintas timbul tanya mengapa, tetapi jika isi hati yang terdalam bicara, akan nampak kasat mata bahwa betapa panjang perjalanan usia,tetap menyisakan guratan ataupun goresan kisah kenangan masa masa yang tidak bisa ditampik mesti dilalui.
Jika sebelumnya ditampilkan Puisi dari kalangan Wanita, yang katanya memiliki hati yang lebih halus dari Prria, dalam 6 Puisi dari 3 orang Pria dibawah ini, nampak bahwa asumsi hati wanita lebih halus perlu dipertanyakan kesyahihannya. Bahwa Pria mengguratkan isi hatinya tidak jauh halusnya dari para Wanita. Betulkah ??
Lihat saja Puisi karya Pinondang Situmeang, Run away to California dan Disimpang tiga rumpun Bambu, dua kenangan masa muda yang tidak akan pupus oleh waktu dan tetap indah untuk dikenang. Demikian halnya dengan Puisi Bambang Pinuji dari Mojokerto dalam Percakapan sore dan 13 tahun kemudian adalah catatan memory perjalanan yang merupakan Takdir, tidak mungkin dihindarkan dari catatan sejarah cintanya. Dan tetap saja muncul dari memori untuk diguratkan menjadi Puisi.
Dedek Fidelis Sinabutar, seorang mahasiswa di Tangerang, yang masih sendiri, walaupun belum menemukan tautan hatinya, tetapi kelak mimpi mimpi dan kerinduan terhadap seorang gadis, tetap akan meninggalkan goresan dalam perjalanan hidupnya, kelak akan menjadi pendampingnya ataupun tidak.
Sekarang diserahkan sepenuhnya kepada pembaca untuk menyimak dan menikmatinya.
RUN AWAY TO CALIFORNIA
Pinondang Situmeang
RUN AWAY TO CALIFORNIA
by Pinondang Situmeang
Heavy cloud hanging on weekend
Home alone, she left me behind
Flipped the channel TV One
Shocked to see a broad coaster's cheek
Just as my sweetheart, who cheated
I row a boat off the shore
Hide away in a tiny rock island
Lay down under whitening grasses
Find your faces crafted in the rock
I fly away over Fujiyama
Landed down at LAX airport, California
Passing brown race Asian American
Look like my fiancee face
I joined fishing to Huntington beach
Waiting a fish touch my line, imaging
Over the surface like a mirror
Your face illuminating in silhouette
Where was I supposed to run away
DISIMPANG TIGA RuMpuN BamBu
by Pinondang Situmeang
Alunan gitar mengiring senandung sendu
Disimpang tiga rumpun bambu
Hati luluh memeluk gitar dan aku
Dah lama gitar tak dipetik lagi
Perih ujung jari dan ulu hati
Melepas dia yang akan pergi
Bersama irama langgam Melayu
Kini senandung berganti nada
Diiringi organ dan tipa tipa
Lagu nuansa hijau dan ungu
Lagu pilihanmu dan dia
Namun aku tak akan lelah
Menunggu dibangku di simpang tiga
Karena gitar tak bernyawa
Tanpa desahmu dan lagu kita
Kelak aku pasti akan memanggilmu sayang,
seperti keinginanmu saat deru hujan mulai menerjang gubug kecil
diujung tikungan.
Tapi saat ini biarkan ruh-ruh cinta yang datang meresap
seperti hujan butir kecil yang menelisik tanah gersang.
Cinta kita seperti jutaan cinta sepasang manusia yang kehilangan arah terbang,
hanya kepakkan sayap seiring angin yang laju membayang.
Mengapung di atas gumpalan awan,
kadang menukik menghujam samudera dalam.
Bukan seperti ini cinta yang ku dengar dari mulut pendongeng impian,
cinta yang akan meruntuhkan pilar-pilar keyakinan,
cinta yang penuh dengan rasa kepemilikan.
Entahlah...!!
aku atau kamu yang telah mendustai diri
dengan menempelkan plakat-plakat suci
pada setiap perjumpaan yang tersembunyi.
Atau kita salahkan saja setan jahanam sebagai penyebab runtuhnya iman.
Entahlah....
cinta ini pasti,
tapi menyisakan tanya tersembunyi,
tanya yang kita sendiri takkan bisa menjawab dengan hati nurani,
hanya yang sebenar-benarnya kita pungkiri sendiri jawaban jujurnya.
Kita saling jatuh cinta
seperti kelereng yang dipermaikan jemari mungil bocah-bocah dekil.
Sesekali menghentak..
menghamburkan segerombol aral penghalang benak,
kadang hanya berputar
mengitari kelereng-kelereng yang kita anggap tak sadar.
Aku atau kamu... yang patut dipersalahkan Tuhan
atas anugerah cinta yang tersalah gunakan?
atau sekali lagi kita kambing hitamkan saja keadaan.
Entahlah.....
Hujan telah reda,
sepasang sendal kita terlanjur basah,
mari kita akhiri percakapan sore
dan hidupkan kembali cinta-cinta kita
yang terlanjur tercecer di halaman rumah yang tak lagi ramah.
13 tahun kumudian
ketika aku tak lagi bisa menatap tajam matamu
ku alihkan rindu pada cupu-cupu batu
lantas kau punguti rinai air mata yang setahun lalu
tertumpahkan di gapura depan rumahmu
sungguh...!
bukan rasa biasa
yang seenaknya saja dihalau senja
ini hati...!! sungguh... ini hati...!!!
yang pernah kau permainkan dalam jalinan benci
lantas kau pura-pura mengamini hatiku
mencium rakus sekujur rasa rinduku
mensebadani cinta yang kau warnai kemuilau syahdu
sejumput saja kau sentuh hati
sudah cukup terwakili setusuk belati
sehela saja nafas terhenti
takkan bisa bikin badanku mati
tapi ini hati...
hati yang punya nyawa sendiri
dan kau dengan sigap
mengobrak-abrik ruangnya...
semoga bahagia
13 tahun kemudian, 2 tahun yang lalu
By Dedek Fidelis Sinabutar
: Gadis Berjaket Kuning yang pernah kulihat di Plasma
Aku ingin menjadi senoktah sinar mentari.
Terjatuh bebas di antara gumpalan awan putih;
menyebar menjadi mejikuhibiniun:
merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu;
menyelinap di cela rerantingan pohon mangga
yang tumbuh subur di samping kamarmu;
hingga akhirnya mendarat tepat di bibir tipis merah jambumu.
Mencumbu dan melumat bibirmu semauku.
Aku ingin menjadi senoktah sinar mentari.
Terlebih-lebih, aku ingin menjadi kusen jendelamu,
yang tetap dapat menatap serta mencintaimu setiap pagi
meski matahari terik atau rinai menggelayut.
Dan memang, aku hanya ingin mencintaimu, tak lebih.
Jurangmangu Timur, 24 Maret 2011
Merangkai Sepi
By: Dedek Fidelis Sinabutar
: Cinta(h)
Telah kurangkai sepi menjadi selarik puisi,
kutangkupkan judulnya di bawah bantalku,
sedang isinya kukunci rapat-rapat di dalam sebuah peti.
Atau jangan-jangan isinya kusimpan di dalam lemari?
Di laci meja?
Atau di antara lelembaran buku Akuntansi?
Oh, Cinta(h), sepi yang kurangkai menjadi puisi itu,
sudah raib entah ke mana.
Tak ada di peti.
Tak ada di lemari. Tak ada di laci.
Pun, di lelembaran buku Akuntansi.
...
Aih, aku lupa
bahwasanya puisi itu telah kutitipkan
bersama kunang-kunang kenang ke hatimu.
Jurangmangu Timur, 28 Maret 2011