Friday, July 31, 2009



                                          Rumah Monang, La Habra, CA

Rasa perih akan meninggalkan Los Angeles di bulan Mei 2008 seperti tidak akan menginjak L.A lagi meninggalkan anak saya nomor 2, Monang Situmeang yang telah hidup dan menetap disana sejak thn 1990an dan telah menikah dengan warga Amerika kelahiran Jakarta. Anak, teman bermain sejak kecil, sekarang akan saya tinggalkan setelah bersama selama 6 (enam) bulan, kebersamaan yang jarang.

Dengan kecepatan 40 miles per jam, Lexus biru itu meluncur dari kota La Habra menuju Bandara Los Angeles, LAX. Karena sudah larut malam jalanan free way itu tidak begitu padat dan Bandara dapat dicapai hanya dalam waktu 45 menit. Turun dari mobil mendorong kereta berisi 2 koper besar, sambil memperhatikan sekeliling. Dalam batin timbul pertanyaan apakah ini the last time I saw L.A. Bisa kah kami kesini lagi sekeluarga ber sama sama?

Sambil menunggu waktu chek in 30 menit lagi, saya sempatkan berkeliling Ruang kebe
rangkatan yang penuh dengan penumpang keberbagai tujuan. Perasaan terasa tersayat perih, mengenang masa lalu bersama keempat anak berkumpul disini, sekali gus miris akan meninggalkan anak kedua yang sudah belasan tahun, nikah dan bekerja di State.

Setelah selesai check in, kami naik ke Lantai 1 memesan kopi dan snack, persis tengah malam, satu jam sebelum take off jam 01 am. Ditempat ini pula kami sering minum bersama 3 anak, yang mengantar kami bila waktu pulang ke Jakarta. Kenangan ini rewind seperti baru saja terjadi, pada hal sudah sepuluh tahu yang lalu, sebelum krisis tahun 1998.
                                           Monang (baju putih)


Sambil menanti panggilan boarding, saya sempatkan berpesan kepada anak saya : "Mon, waktu cutimu jangan dihabiskan, sisakan beberapa hari", kata saya. Dia tidak mengerti maksud saya dan menjawab :"Tahun lalu saya kan sudah cuti ke Indonesia papi", katanya. Sambil meneguk kopi panas saya menambahkan :" Jika ada apa apa sama mami/papi, kamu bisa datang ke Jakarta anytime", kata saya menjelaskan. Dengan tenang dia menjawab :"Kalau ada hal yang sangat penting, boleh kok minta cuti khusus", katanya dengan mantab.

Selama satu semester tinggal di Amerika, ada hal yang aneh dan lucu dipandang dari kaca mata Kebudayaan Indonesia terutama dari sudut pandang adat Batak (walau saya tidak begitu kental mengikutinya). Saya dan besan, warga keturunan, beristeri suku Batak, sering jalan bersama. Jika dia off dari pekerjaannya di detention center, dia akan menjemput saya.

Pagi pagi dia mengetok kamar saya :"Pak Situmeang, ayo kita exercise", katanya. Dengan Jeep machonya kami berdua berangkat ke fitness building. Di counter dia hanya bilang :"He is my friend", saya mencatatkan nama tanpa bayar, langsung excersise. Rupanya besan sekeluarga member disitu, tapi jarang dipergunakan.

Setelah exercise di lantai 1 untuk otot atau lari di sepeda stationer, dilanjutkan di lantai 2 dengan latihan beban punggung, tangan dan perut. Satu jam cukup menguras keringat dimusim dingin itu. Sambil menunggu pendinginan badan, besan berkata :"Kita mandi air panas di kolam ya", katanya. Sementara lupa dengan kebudayaan Indonesia dan adat Batak (dalam lingkungan Amerika), sayapun ikut turun lagi ke lantai satu. Diruang ganti kedua besan buka baju, sisa pakaian renang. Kemudian melangkah masuk ke kolam hanya dengan pakaian minim. Di kolam bundar kecil itu ada 4 orang lain.

Punggung disemprot dari dinding kolam, rasanya seperti reflexy dipijat pijat dan panas air yang cukup membuat badan segar kembali. Setelah penat hilang, saya diajak lagi:"Mari kita ke ruang spa", katanya.Dua ruang spa hanya beberapa meter dari kolam. Sebelum masuk ruang spa, badan disiram dulu dengan air dingin dari shower air . Dengan hanya memakai handuk, kedua besan ini duduk bersama beberapa orang lain. Keringat bercucuran tiada henti.

Buat saya ini kebersamaan yang unik diantara besan. Dari raut wajahnya, besan saya tidak ada perasaan sungkan, menganggap itu hal biasa dalam lingkungan setempat. Sama biasanya seperti saya diantar oleh menantu saya ke perpustakaan, ke dokter ke mal atau ke tempat lainnya. Dalam budaya Batak, kedua hal tsb sedapat mungkin dihindari.Kebersamaan seperti ini mungkin for the first and the last time buat saya.

Karena merasa merupakan the Last time ke Library, saya luangkan waktu yang cukup lama memilih Novel.Seorang senior citizen wanita, petugas perpustakaan khusus buku buku second dengan ramah menyambut seorang pengunjung senior dan saya. Tanpa sungkan dia berkata :"You are handsome if you smile", katanya, sambil melajutkan :"You buy a lot of books", katanya.

                                           Novelis Nora Robert

Memang saya membeli Novel Novel karangan Novelis ternama seperti Nora Robert, Mary Higgin Clark, Anne Rice dan David Baldaci. Saya jawab:"I will take it home to Indonesia",sambil membayar. Harga Novel second hanya $ 1 dan relatif masih baru. Disana ada kebiasaan menyumbangkan Buku bekas dan dijual kembali dengan harga murah.Bahkan ada perpustakaan yang menggelar event khusus penjualan khusus Novel second.Peminatnya juga berjubel

Tidak saya sia siakan pula pergi ke Toko Buku besar Borders menjelajahi rak rak buku. Ternyata di rak khusus dijual dengan discount seperti Buku buku Biography tokoh terkenal dan Buku Rohani yang di Indonesia, harganya pasti ratusan ribu rupiah. Di sini cuma dijual paling mahal $ 5.

Ketika check ini di Bandara petugas loket Cberkata hina Airline berkata :"Overweight cost is $ 105". Merasa ongkos itu mahal, saya berkata kepada anak saya :"Ga apa apa, papi tinggal saja koper ini", seraya melanjutkan :"Nanti kirim secara bertahap saja", kata saya. Tetapi dia berpendapat lain dan menjawab:"Tidak apa apa pi", katanya sambil menyerahkan Credit card untuk membayar.

Itulah cerita The last time I saw.....Los Angeles

Thursday, July 30, 2009

De Robert Saiget (AFP) – há 3 dias

PEQUIM, China — A venda de uma siderúrgica chinesa foi cancelada depois que um executivo foi espancado e morto pelos trabalhadores aos quais acabara de anunciar uma drástica medida de demissões, informaram nesta segunda-feira os jornais locais.

Os funcionários da Tonghua Iron and Steel, com sede na província de Jilin (nordeste), espancaram até a morte na sexta-feira passada um dos diretores da empresa, Chen Guojun, que anunciou a demissão de até 30.000 funcionários, segundo o jornal China Daily.

Cerca de 3.000 operários interromperam a produção e cercaram Chen, recém-nomeado ao cargo, depois do anúncio da compra de sua unidade pelo grupo privado Jianlong.

"Chen decepcionou e provocou os operários aos anunciar que a maioria ficaria desempregada em três dias", indicou o China Daily, citando um policial local.

Depois de espancar o executivo, os empregados ainda enfrentaram a polícia e impediram a ambulância de ter acesso ao ferido.

Chen morreu horas depois de chegar ao hospital.

Um porta-voz do governo provincial de Jilin, contatado pela AFP, confirmou a morte do executivo, mas não quis dar detalhes, afirmando apenas que a polícia abriu uma investigação sobre o assassinato.

Também informou que o governo provincial decidiu interromper a fusão.

A agência oficial Nova China explicou que a venda foi anulada para impedir que a situação se agrave.

Embora os conflitos sociais estejam sendo cada vez mais frequentes na China e com desdobramentos cada vez mais violentos, esta é a primeira vez que milhares de trabalhadores matam um chefe.

"Recentemente ouvi falar em casos de sequestros de executivos, mas não de chefes atingidos até a morte desta forma, que eu saiba esta é a primeira vez", declarou Jean-Philippe Béja, do Centro de Estudos Francês sobre a China contemporânea (CEFC) em Hong Kong.

Em comunicado publicado no fim de semana, o Centro de Informação para os Direitos Humanos e a Democracia, com sede em Hong Kong, afirmou que 30.000 operários participaram no movimento de protesto, e que cerca de cem pessoas foram feridas em enfrentamentos com a polícia antidistúrbios.

"Nunca vi nada igual", declarou à AFP Geoff Crothall, do China Labour Bulletin, em Hong Kong.

"Na maioria dos casos de privatizações, os funcionários temem ser demitidos com indenizações irrisórias, com as quais poderiam viver apenas alguns anos", acrescentou.

Em 15 de junho, na cidade de Dongguan, um operário de uma companhia metalúrgica matou a punhaladas dois executivos taiwaneses e feriu gravemente um terceiro executivo, em um conflito trabalhista, com 200 colegas que nada fizeram.

A China registra a cada ano milhares de "incidentes de massa", dominação oficial dos conflitos sociais, distúrbios, manifestações por supostos casos de corrupção ou abusos por parte de responsáveis locais.

JAGO @ KANDANG


Didepan Gedung PBB, New York

"Kalau kami tidak mampu mengirim biaya lagi, kau harus pulang", begitu kata Bapak ketika melepas kepergian saya merantau untuk kuliah di Jogjakarta di tahun 1960an. Bapak termasuk golongan orang tua yang "berani" ambil risiko melepas anak tunggal (laki) ke kota yang belum pernah dia kenal dan tidak ada kenalan yang akan ditemui di kota yang baru itu.

Disamping itu, penghasilan Bapak hanya sebagai pedagang pengumpul karet dari kampung kampung, dua hari dalam seminggu dan menjualnya ke kota Sibolga. Penghasilan yang tidak menentu, bisa untung, bisa rugi. Walau Ibu juga pedagang kain dan beras, tetap saja penghasilan tidak dapat menjamin kelangsungan kiriman biaya hidup saya selama 6 tahun di Yogjakarta.

Saya juga termasuk nekad memilih kuliah jauh jauh, pada hal di Medan ada Universitas Negeri terkenal yaitu Universitas Sumatera Utara atau USU.
Saya dan sohib kental Parlaungan Hasibuan, siswa SMEA Negeri Padangsidempuan punya obsessi kuliah ke Jawa, kalau bukan Universitas Indonesia, ya GAMA. Kebetulan nilai ijazah kami diatas 7 rata rata, syarat minimum untuk diterima mendaftar di Fakultas Ekonomi GAMA.

Gedung Univ. GAMA, Bulaksumur, Yogjakarta
Syukur, kami berdua sama sama anak toke getah, tidak dimanja, kuliah kami tidak sampai putus ditengah jalan. Dan kiriman wesel yang tidak seberapa itu pun tidak pernah berhenti.

Keberanian ini juga tertular kepada 3 anak saya, yang kuliah di California. Ketika wisata ke Amerika Serikat, diatas Kereta Api dari Washington DC - New York - Niagara, saya bertanya kepada anak saya nomor dua, Monang :"Apa mau sekolah disini?", kata saya. Tanpa diduga, anak pendiam ini menjawab :"Mau papi", jawabnya tegas. Setiba di tanah Air, kami langsung mendaftarkannya ke Lembaga kursus EF (English First) untuk kursus bahasa di Amerika sebelum masuk College. Keberanian menjadi nekad ketika dua anak menyusul abangnya. Ternyata indekos disana hanya $ 200/bulan atau setara dengan Rp. 400.000,-/orang. Tidak jauh berbeda dengan kos di kota besar di Indonesia.

Apa yang dipesankan kakeknya, saya copy dan sampaikan kepada anak anak :"Kalau papi, mami tidak sanggup membiayai, kamu harus pulang ke Indonesia", kata saya. Kami juga termasuk "sangat berani" menyekolahkan mereka ke Luar Negeri. Memang sejak kuliah di Amerika, saya sudah buka usaha sendiri dan pensiun dini dari BRI, sebelum krisis terjadi. Penghasilan dari rental alat berat, relatif besar, tetapi tidak dapat dijamin kelangsungannya. Dan benar, krisis ekonomi datang menerjang tidak bilang bilang. Akibatnya, kami tidak mampu lagi mengirim biaya mereka. Sebelum krisis, kami hanya mengirim sekitar Rp. 6.000.000,- per bulan ($3.000), sejak krisis membengkak menjadi Rp. 45.000.000,- per bulan. Siapa tahan.

                                          Rindu Sibolga

Di zaman doeloe, sebelum tahun 1980an, lapangan kerja di Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah relatif terbatas, sesuai dengan kapasitas sumber daya alamnya. Oleh sebab itu banyak warga yang meninggalkan kampung halaman mengadu nasib di luar Sibolga.
Oleh sebab itu, saya cukup terkejut dengan Statement Sibolga akan menjadi cyber city. Suatu tantangan besar untuk mewujudkannya. Jika benar terwujud akan besar sumbangsihnya membuka lapangan kerja baru, agar warga Sibolga tidak perlu merantau jauh jauh.

Awal tahun 2008 lalu ketika saya di California, saya mendengar ada rombongan tenaga kerja warga India yang dikontrak sementara oleh perusahaan IT di Los Angeles. Mereka tinggal di satu Hotel. Warga India memang dikenal piawai dalam programming dan memperoleh penghasilan yang berlipat lipat dibandingkan dengan upah di Negaranya. Saya jadi terpikir, kenapa kawula muda dari cyber city Sibolga tidak meniru ide Tenaga kerja warga India itu.Pemuda harus berani meninggalkan kampung halamannya dan mencoba ke luar karena kesempatan di Luar Negeri masih terbuka luas.

Meninggalkan keluarga dan Sibolga tidaklah semudah mengatakannya. Selama kuliah belum tentu bisa pulang setiap tahun atau setiap dua tahun, karena masalah biaya. Sekali bisa pulang, maka kerinduan pasti akan dilampiaskan. Pertama rasa rindu keluarga terobati sambil makan gule ikan aso aso, masakan Ibu. Sore hari tak akan melewatkan duduk dipinggir pelabuhan lama. Dulu saya membonceng sepeda adik bungsu dan ponakan paling sulung duduk memandang jingga senja sambil makan kacang goreang.

Acara lain, tak akan absen menikmati sate Padang di pusat kota, yang hingga saat ini tetap makanan favorit, bahkan anak anak saya jadi suka. Tentu tidak akan lupa ke pantai Pandan, daerah tujuan wisata indah saat dulu. Sedang acara keluarga pastilah napak tilas, menilik kampung kelahiran, Lapaan Lombu, Sitahuis, 23 km arah ke Medan. Disana akan menikmati Durian (Batak:Tarutung) dan duku. Kedua buah ini tidak perlu beli, karena memang hasil pohon sendiri.

Walaupun merantau begitu lamanya, tetapi memory atas kampung halaman dan Sibolga tidak akan pupus dimakan masa. Sampai saat ini rumah kami masih berdiri, masih tampak seperti aslinya di  Jalan yang sudah ganti nama tiga kali. Sekarang bernama Jalan M.Panggabean No.32, sebelumnya Jl.Dolok Martimbang No.20  dan awalnya bernama Jl.Singamangaraja, yang sebutannya dikenal Sekolah tukang atau Ambakschoel, karena tetangganya adalah STM Negeri Sibolga, seperti foto diatas.











STRATEGY MEMIMPIN CABANG BANK

Jika kita diberi kesempatan untuk mengelola satu unit organisasi kecil dengan full commitment, maka dapat dipastikan Pimpinan pasti menilai kapasitas kita dan tanpa diduga (walau berharap) promosi pasti akan datang.

Pada suatu Rapat Kerja Kepala BRI se NTT di Kupang, saya dan Pak Munari, Kep.Cabang Waikabubak, Pulau Sumba, tanpa diduga diminta naik ke panggung di Gedung Bank Indonesia Kupang. Disana disediakan 2 white boards. Kami diminta untuk menggambar grafik "performance", perkembangan usaha Cabang BRI yang kami pimpin.

Gambar grafik yang saya buat berbeda bahkan bertolak belakang dengan gambar yang dibuat pak Munari.
Tiga garis garis yang saya tulis dengan supidol hitam itu, dari tahun ke tahun semakin meningkat atau mendaki.
Garis pertama adalah volume pinjaman. Gambar kedua, garis putus putus adalah pendapatan bunga, sedang gambar ketiga, berupa titik titik adalah perkembangan Laba usaha.

Ada satu garis lain yang tidak mendaki, bahkan cendrung semakin kecil/menurun yaitu angka angka tunggakan kredit.
Kesimpulan grafik yang saya gambar adalah dengan semakin besarnya kredit yang berbunga tinggi dengan pembayaran angsurannya lancar, maka Laba perusahaan dalam dari tahun ke tahun cendrung semakin besar.
Sedang grafik yang digambar pak Munari menunjukkan garis garis sebaliknya.


Ketika kami berdua turun dari panggung, di Gedung BI yang apik itu, Bapak Hartawan, Direktur BRI, mengatakan:"Direksi tidak salah mempromosikan Anda ke Cabang Kudus", katanya. Tepuk tangan peserta rapat membuat hati berbunga bunga. Direktur yang murah senyum ini lalu menyambung :"Jika performancenya tidak sebaik itu, S.K bisa dibatatlkan", katanya bergurau, disambut suara geerr dan tepuk tangan. Sementara itu, pak Munari dipindahkan menjadi Kepala Bagian Pendidikan di Kantor Pusat BRI.

Strategy yang saya rancang di BRI Atambua sebenarnya sangat sederhana. Hanya merubah komposisi pinjaman. Sebelum saya pimpin, pinjaman/kredit berat ke Kredit program Pemerintah berbunga rendah. Komposisi itu saya rubah/balik secara perlahan dengan menggenjot expansi kredit bisnis berbunga lebih tinggi, dengan tetap meningkatkan kredit program, tetapi lebih selektif agar menghasilkan pendapatan bunga. Bersamaan dengan itu, para staf creditman dikerahkan untuk menagih tunggakan kredit, terutama tunggakan bunga, yang merupakan sumber penghasilan untuk menutup semua biaya dan menghasilkan keuntungan yang lebih besar.
Itulah strategy yang saya terapkan selama memimpin Cabang paling timur di Pulau Timor itu, yang menghantar saya ke kota industri di Jawa Tengah, BRI Cabang Kudus.

Strategy dan taktik Atambua tidak akan ampuh jika diterapkan menghadapi persaingan yang begitu ketat  di Kudus, Jawa Tengah dengan Bank Bank besar lain seperti Bank Dagang (Mandiri), BCA, Bank Niaga, Bank BNI dll yang pelayanannya dikenal lebih baik dari BRI.
Oleh karena itu, di kota kretek ini, strategy utama adalah "Service yang exellence". Di tahun 1984 dengan segala taktik saya berhasil mengalahkan kwalitas service Bank Bank Swasta sehingga fabrik fabrik dan nasabah besar, betah tetap di BRI dan tidak tergoda atas menu Bank lain. Ini bisa dilakukan karena BRI bisa menyediakanme product maupun memberikan servicenya dengan kecepatan yang sama cepatnya dengan Bbank Bank Swasta.

Beberapa contoh pelayanan yang prima, yang saat ini masih tetap aktual dalam duina perbankan adalah proses inkaso, penagihan check/giro dari luar kota, merekomendasikan buka rekening di kota lain. Nasabah direkomendasikan buka Rekening di Cabang lain juga. Seoerti nasabah BRI Kudus membuka rekening  di Cabang BRI Tanjungmas, Semarang, otomatis mendapat cek/Bilyet Giro Semarang'

Jemput setoran pakai mobil dengan jadwal tetap dan pelayanan di loket maximum 5 (lima) menit. Indikator kecepatan pelayanan BRI Kudus ini nampak pada sepinya ruang tunggu  nasabah dan minimnya mobil nasabah parkir di depan Kantor. Saya mencoba menghilangkan image bahwa nasabah yang berjubel di ruang tunggu dan banyak mobil diparkiran sebagai indikasi Bank yang berhasil.

Dalam usia saya yang memasuki kepala empat dengan semangat menggebu gebu saya mencoba menggaet Pabrik Rokok Jarum yang besar itu. Memimpin Bank di Kudus tanpa terkait dengan P.R.Jarum terasa seperti menu kurang garam. Makanya saya agak kesal tidak berhasil menggaet PR.Jarum karena kurang dukungan dari Kantor Pusat BRI Jakarta.

Dalam suatu Raker Kepala Cabang BRI se Jawa Tengah di Semarang dengan seluruh Kepala cabang, saya berkata:" Saya gelo karena Kantor pusat tidak dapat memenuhi permintaan PR.Jarum", kata saya. Pak Oemaryudi membela diri:"Kantor Pusat tidak punya valas Dollar Swiss", katanya. PR.Jarum memang mengajukan Kredit Investasi pembelian mesin mesin dengan Valas Dollar Swiss. Jawabannya rasanya tidak masuk akal saat ini. Tetapi di tahun 1980an Pemerintah ketat mengawasi pergerakan Valuta Asing.

Sebelum bicara begitu, saya bertanya dulu kepada Pak Agus, Kepala BRI Pati disebelah kiri saya: "Pak bahasa Indonesia halus "kecewa" itu apa?.Tidak sopan berkata kasar kepada atasan, orang Minang, alumni FE.GAMA Yogjakarta. Belum sempat dijawab pak Agus, Bapak Dirut, Pak Kamardy Arief langsung menyambar :"Bahasa Bataknya apa?", katanya. Terdengar suara geerrr. PR.Jarum gagal menjadi nasabah BRI Kudus.

Dampak pelayanan yang excellent ini menggeser posisi BRI Kudus menjadi "The big tree", setelah Cabang Semarang dan cabang Pati, tetangga di sebelah Timur.
Keberhasilan ini ditayangkan pada rapat Direksi dalam rangka perpindahan dan promosi kepala Kepala cabang se Indonesia.

Esok paginya pada peresmian Gedung baru Kantor Kanwil BRI Semarang di jalan utama tanjakan arah ke Candi, beberapa nasabah inti BRI Kudus berkerumun disekitar Pak Dirut. Beberapa diantaranya komentar :"Pak pelayanan BRI Kudus sangat bagus", kata mereka. Pak Dirut melihat kearah saya dengan senyumnya yang khas. Saya jadi malu, tersipu sipu.

Tak berselang lama setelah Raker diatas, disuatu pagi yang cerah, tanpa bermimpi semalam, masih di rumah, telpon di rumah dinas berdering. Diujung telpon sana terdengar suara khas yang tidak asing lagi. Dengan nada riang dan suara khasnya, dengan ketawa kecil berkata: "Selamat pak Situmeang, Sdr di promosi ke  Cabang Pasarturi (sekarang Pahlawan), Surabaya.

Saya melongo tidak percaya apa yang baru saya dengar dan hanya bisa bilang "Terima kasih pak". Sebelum menutup telpon disambung lagi :"Kalau nanti Bapak jadi Direktur, jangan lupa sama saya", pesannya sambil menutup telpon. Atasan saya, Pak Martono, Kepala KANWIL BRI Semarang memprediksi saya nanti akan menjadi salah satu Direktur di BRI. Memang jalur ke puncak tertinggi di BRI salah satunya ialah jika berhasil menjadi Kepala cabang di Surabaya.

                                           Dinner party di Surabaya

Upaya kerja keras dengan segala Strategy dan taktik mengantar saya ke posisi puncak, Kepala cabang BRI di Ibukota Jawa Timur  Surabaya. Tidak pernah terbayang, tidak pernah kasak kusuk, belum pernah ikut golf dengan Direksi dan nasabah nasabah inti BRI, tiba tiba menjadi Kepala Cabang besar. Apalagi menjadi Direksi, bermimpi saja tidak berani karena, karena tidak pernah diangankan sama sekali.

Di Ibukota Jatim ini, sebulan setelah saya tiba, cabangnya sudah semakin besar saja dengan masuknya sebuah fabrik kertas besar dengan kredit Rp.96 milyard, menjadikan Cabang ini menjadi Cabang terbesar Nomor dua setelah Cabang Khusus, Jakarta. Oleh sebab itu untuk expansi pinjaman 10 % saja atau sekitar Rp.30 milyard setahun berarti saya harus mencari beberapa orang nasabah. Itu merupakan beban tugas yang cukup berat.

Untuk itu diperlukan pemilihan alternative strategy khusus yang ampuh. Anehnya, saya sebagai Kepala cabang sendiri yang memikirkan dan memutuskannya. Tanpa expansi minimum 10% atau setara Rp.30 milyard, kemampuan saya tidak akan diketahui Direksi. Maka saya tempuhlah strategy kebijakan bahwa Kredit nasabah baru dibawah Rp.2,5 milyard tidak dilayani.

Policy ini saya ambil, mengingat untuk Kredit diatas Rp.2,5 milyard wajib memakai Akuntan publik dan jaminannya dinilai oleh Appraisal company. Jadi tugas Creditman, Wakil Kepala Cabang tidak begitu berat, tinggal menganalisa Kelayakan bisnisnya saja. Tentu analisa Akuntan dan Appraisal tidak kita terima begitu saja. Yang penting mereka telah menyediakan data yang sudah terstruktur, mudah menganalisanya.
Pinjaman kepada Nasabah baru dibawah Rp.2,5 milyard dipersilahkan ke tiga Cabang BRI lain di Surabaya, Cabang Kembangjepun, Kaliasin dan Cabang Pelabuhan atau Cabang sekitar Surabaya seperti Cabang Gresik dan Sidoarjo.

Sayang jalur menuju bangku empuk Direktur BRI di lantai 17 Gedung BRI Pusat itu tidak dapat saya raih. Calon banyak memperebutkan hanya lima Jabatan Direktur. Posisi itu dapat digapai oleh Kepala cabang yang menggantikan saya di Kudus, menjadi Direktur Bank Industri, anak perusahaan BRI. Sedang Kepala cabang yang menggantikan saya di cabang Pasarturi akhirnya menjadi salah satu Direktur BRI.

Saya cukup puas menjadi Direktur Utama perusahaan kecil milik keluarga, P.T.Monang Brothers Container yang pernah menikmati pinjaman dari Leasing Company Sumitomo Bank sebesar US.$ 1 juta ditambah US.$.300.000,- dari Leasing milik United Tractor, yang belum sempat direalisasi, keburu dihadang krisis ekonomi 1998 yang lalu.

Jika bekerja dengan full commitment dalam unit organisasi se kecil apapun akan mengantarkan kita pada posisi yang lebih tinggi. Itu pasti.

Wednesday, July 29, 2009

Considerando que:

1. Os últimos governos, apesar de afirmarem que investiram em saúde e acabaram por utilizar todo o dinheiro no PROER e para salvar bancos.

2. O Governo Lula manteve a mesma política de sucateamento da saúde optando por utilizar recursos públicos para salvar empresas privadas e bancos.

3. Os governos estaduais e municipais aplicam para a saúde exatamente a mesma política nacional e, com isso, impõe péssimas condições de trabalho e, conseqüentemente, atendimento precário a população.

4. O desmonte dos serviços públicos e do SUS junto com a inexistência de uma política de educação continuada e de treinamento para atendimento e identificação dos casos em situações de endemias e pandemias revela o grande despreparo para estas situações, a exemplo das epidemias de dengue e febre amarela.

5. No inicio da epidemia, o governo utilizou-se da grande imprensa para dizer que a população estava segura, pois somente quem ia ao exterior ou tivesse contato com quem viajou corria risco de adoecer.

6. O vírus “Influenza A – H1N1” tem uma mortalidade próxima a outras gripes comuns, porém a sua virulência e contágio são superiores a outras gripes e sua identificação e diagnóstico é mais difícil, pois os sintomas são os mesmos de uma gripe ou resfriado comum.

7. A possibilidade de uma vacina que amenize ou cesse o contagio do vírus será disponibilizada no Brasil apenas no inverno de 2010, quando o auge da gripe já deve ter passado.

8. O número de casos de pessoas acometidas por este vírus e numero de óbitos notificados é muito inferior aos casos que realmente existem. Já há dificuldade de acesso ao serviço público nas unidades básicas e hospitais e não existem kits suficientes para os exames que identificam a contaminação.

9. Os governos municipais, estadual, federal e a imprensa remetem a responsabilidade das mortes e dos casos não tratados aos trabalhadores, e não a falta de uma política de saúde efetiva de prevenção e promoção da saúde.

10. A falta de verba e de investimento na saúde leva a que, mais uma vez, quem mais sofre sejam os trabalhadores e os setores mais explorados, que não têm acesso aos hospitais particulares e aos convênios médicos, dependendo exclusivamente do atendimento pelo SUS.

Resolve que:

1. O governo Lula aplique imediatamente toda a verba destinada à saúde.

2. O governo Lula utilize imediatamente também a verba especifica aprovada para Influenza A.

3. Haja garantia de que os trabalhadores da saúde tenham condições de trabalho e EPI em quantidade suficiente para o atendimento a todos os casos suspeitos e confirmados.

4. O governo federal institua / implemente os procedimentos necessários à ampliação da rede médica assistencial para o atendimento da população com suspeita de infecção pelo vírus.

5. O governo federal e o ministério da saúde implantem um sistema nacional de notificação de casos de Influenza A.

6. O governo Lula e o Ministro José Temporão providenciem a imediata disponibilizaçã o de kits de detecção para que todos os casos suspeitos possam ser testados.

7. O governo federal e o ministério da saúde interrompam e revertam imediatamente os desmontes do SUS, todos os casos de terceirização e privatização dos serviços e invista na valorização do trabalhador, prevenção e na promoção da saúde.

6. Os sindicatos e entidades do movimento filiadas a Conlutas, através de seus boletins, divulguem esta resolução e aprovem em suas diretorias o envio de moções ao ministro da saúde e ao presidente Lula.

Rio de janeiro, 26 de julho de 2009.



Coordenação Nacional da Conlutas.

Monday, July 27, 2009

 

Amigos e amigas,

Vejam a importante notícia título desta postagem, clicando abaixo, um atalho para o blog do amigo Luiz Salvador, presidente da Abrat (Associação Brasileira dos Advogados Trabalhistas) que originalmente postou a matéria.

Abraços,

Adriano Espíndola

NOVO OLHAR: DESCASO INJUSTIFICÁVEL: Acidentes do Trabalho matam mais que a dengue, mas inexiste verba para prevenção

Sunday, July 26, 2009


Di pantai ini
Nafas terengah
Seirama ombak memecah
peluh membasahi raga

Sepanjang pantai
Kita berlari bertelanjang kaki
Mengejarmu ke dermaga tua
Mengguratkan rindu di hati

Dibalik bukit landai
Ombak asa terhempas di batu karang
Sekokoh cintaku
Seluas laut tak bertepi

Dibangku pantai
Berpeluk dengan mata sembab
Tak kuasa melepas kepergianmu
Mendayung biduk bekas

Dari pantai ini
Kau pergi mengiring semilir bayu
Yang berbisik lirih:
"Jika sendu,datanglah kesini"

Saturday, July 25, 2009

É preciso derrotar o golpe! Veja abaixo a proposta de moção a ser levado aos sindicatos e assembleias
Abaixo o golpe em Honduras. Todo apoio à resistência dos trabalhadores!

A América Central vive novamente um golpe de estado. Nas primeiras horas do dia 28, o exército de Honduras seqüestrou e expulsou o presidente Manuel Zelaya, tomando o poder. O golpe reacionário foi apoiado pela Corte de Justiça, pela grande mídia e pelo parlamento, que indicou o golpista que ocupa o palácio presidencial. Apesar do discurso de que não foi um golpe, os trabalhadores hondurenhos vivem dias de terror, com prisões em massa e toque de recolher. Nas ruas, os trabalhadores têm enfrentado os militares e sua dura repressão, desafiando o golpe e exigindo a saída dos golpistas.

Nos, trabalhadores (_______________), condenamos veementemente o golpe de estado em Honduras, que recorda o longo período de ditaduras a que nosso continente foi submetido. Exigimos a volta do presidente, a prisão e o confisco dos bens dos golpistas e dos mandantes.

Este golpe deve ser derrotado. Exigimos que o governo Lula rompa relações comerciais e diplomáticas com Honduras, enquanto não se garanta o retorno do presidente Manuel Zelaya ao poder.

Enviamos desde o Brasil toda a solidariedade aos trabalhadores e trabalhadoras de Honduras, e apoiamos todas as ações para resistir e derrotar nas ruas o golpe de estado em seu país. Exigimos o fim da repressão e a garantia de liberdades democráticas e do direito de manifestação.

A ação orquestrada mostra toda a podridão do sistema político do país e a necessidade de uma segunda independência em nossos países, que libertem os trabalhadores e os povos latino-americanos de suas ditaduras, de generais e grandes empresas e multinacionais.

(Cidade), (XX) de julho de 2009



ENVIAR PARA
Sr. Brian Michael Fraiser Neele
Embaixador do Brasil em Honduras
Calle República del Brasil, 2301
Colonia Palmira
Tegucigalpa - Honduras
Telefones (504) 221-4432 / 236-5867
Fax (504) 236-5873
consular@brasilhonduras.org


Embaixada de Honduras no Brasil
Embaixada de Honduras em Brasília - DF
SHIS QI 19 Conj. 7, casa 34 - Lago Sul
CEP 71655-070 - Brasília DF
tel. (0xx61) 3366-4082
fax (0xx61) 3366-4618

Com cópia para
pstu@pstu.org.br

Friday, July 24, 2009

O presidente deposto cruzou a fronteira com a Nicarágua na tarde desta sexta-feira, 24, mas depois de alguns minutos recuou, voltando a território nicaraguense. Zelaya entrou em seu país pela cidade de Las Manos, na Nicarágua, a 250 quilômetros de Manágua. O presidente deposto chegou a levantar uma corrente que separa os dois países e avançou alguns metros em solo hondurenho acompanhado por jornalistas e manifestantes. Do outro lado estavam militares hondurenhos que formavam uma frente com escudos antimotim para impedir o avanço da marcha. Zelaya foi advertido que se avançasse em território hondurenho seria preso. O presidente então decidiu recuar.

Milhares de hondurenhos se dirigiram à fronteira do país para aguardar o retorno de Zelaya. Houve repressão e pelo menos dois manifestantes ficaram feridos. O governo ainda antecipou o toque de recolher para o meio dia, em uma tentativa de tentar impedir a marcha do movimento antigolpista atá a fronteira. Logo depois que Zelaya retornou a Nicarágua, a polícia e o exército dispararam contra os manifestantes antigolpe.

Zelaya partiu um dia antes de Manágua, capital da vizinha Nicarágua, em um comboio que reuniu pelo menos 30 veículos. Hillary Clinton, secretária de Estado do governo dos EUA, voltou a classificar de "imprudente" a ação de Zelaya. Um dos principais assessores dos golpistas é Lanny Davis, conhecido lobista dos Clinton

Paralisações e bloqueios
Os dois últimos dias em Honduras foram marcados por intensos protestos. Nessa sexta-feira, se completou o segundo dia da paralisação geral chamada pelas centrais sindicais do país. Na quinta-feira a estrada que une Tegucigalpa ao norte do país foi bloqueada na altura de Durazno. A circulação de veículos ficou totalmente impedida das 9h da manhã até as 14h.

Pela manhã do dia 24, os manifestantes contra o golpe receberam uma boa notícia. Soldados da polícia nacional deflagraram uma greve, exigindo o pagamento de seus salários atrasados. É o primeiro episódio importante de conflitos das forças repressoras com o governo golpista.

Thursday, July 23, 2009


Amigos e amigas,

A classe operária começa ir à luta em todo o mundo. Para um marxista revolucionário isso tem uma tremenda importância, pois, com os trabalhadores mobilizados e lutando por seus direitos, o resultado do xadrez da crise economica, uma partida travada duramente entre duas principais classes sociais que compõe o mundo moderno, pode ser o não desejado pela burguesia, abrindo fissuras, digamos assim, que coloquem na ordem do dia a questão do poder, ou seja, da tomada do poder pelo proletariado.

Depois das mobilizações radicalizadas na França e, ainda, na Honduras e até mesmo no Irã, os trabalhadores dão mais um exemplo de disposição de luta na Coréia do Sul.

Vejam abaixo mensagem que recebi do meu amigo Jason.

Abraços,

Adriano

=-=-=-=-=-=-


Recebí hoje uma msg de Loren Goldner, camarada dos USA, a respeito da GUERRA dos operários da SSANGYONG MOTORS da Coréia do Sul.

Ia começar a traduzir do inglês para o português, mas o João Bernardo foi mais rápido no gatilho (rs rs rs). Certamente ele, que fez uma belíssima tradução, levou uma vantagem decisiva a partir do fuso horário.

Temos visto a reemergência do movimento operário radical na Europa, na Coréia do Sul. Espero em breve para o Brasil estejamos alcançando esses níveis de luta.

Esta crise cíclica ainda não produziu tudo o que tem para produzir em termos de luta de classes de ponta - do operariado industrial. Vamos ver até onde ela nos levará, o que ela explicitará.

Antes que ela acabe, ela irá mostrar um verdadeiro cinturão operário revolucionário ao redor do mundo:

- áreas industriais dos USA
- áreas industriais da Argentina, Brasil, México
- áreas industriais da África do Sul, Nigéria
- áreas industriais do extremo extremo asiático, Índia, China, Rússia
- áreas industriais européias

O operariado consciente, revolucionário, começa sua caminhada para a auto-consciência (reencontro com a integralidade da teoria-programa de Marx), para a formulação de seu plano revolucionário e sua auto-organização (que culminará na recriação de um partido de classe mundial - a próxima internacional revolucionária dos trabalhadores).

Tudo isso será feito no único lugar em que pode ser feito: na luta.
Esse movimento operário começa, ou recomeça como é o caso para a maioria dos países da periferia reentemente e intensamente industrializada, no bôjo das lutas econômicas, e a partir daí desdobra-se dialeticamente para formas superiores de organização conforme avance o esgotamento desta ordem mundial, através das crises cíclicas industriais, assim como produto do trabalho intenso de politização no seio da classe proletária.

Não pude ainda entrar na INTERNET e amealhar mais elementos sobre a luta (guerra) dos operários SSANGYONG MOTORS da Coréia do Sul.

Farei logo em seguida.

Por falar em movimento operário... neste fim de semana começou publicamente a Campanha Salarial 2009 dos Metalúrgicos do Estado de São Paulo. A do ano passado foi... EXCELENTE! Acompanhem.

Mis besos
Jason.


Thanks, Jason.
It was already translated by Joao Bernardo.
Please distribute as widely as possible.

Abracos

Loren

21 JULHO 2009 - (Coreia do Sul) Últimas notícias da luta na Ssangyong Motors

21 de Julho de 2009
Categoria: Movimentos em Luta

Este é um relato sobre as novidades na greve da Ssangyong Motors, o maior confronto de classe na Coreia do Sul nos últimos anos, enviado por um operário de uma fábrica vizinha.

Ao terminarmos o turno da noite, às 5h.30 da manhã de hoje, fomos para Pyungtaek e concentrámo-nos junto aos portões da Ssangyong Motors, onde os confrontos continuavam, tal como ontem. Entre as 9h e as 10h chegaram muitos autocarros [ônibus] com polícia de choque e chegaram também cerca de 20 carros de bombeiros. Cerca de 2.000 polícias de choque estão a tentar aproximar-se das oficinas de pintura, mas os trabalhadores estão a contra-atacar com uma fisga [estilingue] e por vezes também com cocktails molotov. A fisga é muito grande e são usados parafusos e porcas como munição, mas a uma grande distância (entre 200 e 300 metros) a sua acção não é muito eficaz.

Como uma barricada de pneus está a arder, um fumo negro cobre todo o céu, por cima das fábricas.

A administração da empresa cortou o abastecimento de água e de gás à fábrica e impede que os trabalhadores recebam o quer que seja a partir do exterior, mesmo medicamentos. Talvez a administração esteja a tentar fatigar os trabalhadores, para os levar a sair espontaneamente das oficinas de pintura.

Ao regressar daquele campo de batalha para o meu turno de trabalho desta noite, ouvi dizer que um helicóptero da polícia está a lançar granadas de gás contra os operários que estão a lutar nos telhados.

A central sindical (KCTU) decretou hoje uma greve geral de 22 a 24 de Julho e convocou um grande comício nacional para o sábado, 25 de Julho, em apoio à greve da Ssangyong. Por seu lado, o Sindicato dos Operários Metalúrgicos Coreanos (KMWU), o principal filiado da KCTU, convocou também greves para os dias 22 e 24, em apoio àquela greve e às negociações salariais em curso.

Espera-se que amanhã mais de 5.000 operários sindicalizados acorram junto ao portão principal da Ssangyong Motors e que os combates recomecem.

21 de Julho de 2009

Wednesday, July 22, 2009


Leia abaixo a nota do partido, divulgada após o encerramento da greve, exigindo nenhuma punição e a manutenção da jornada

O Partido Socialista dos Trabalhadores Unificado (PSTU) vem trazer seu total apoio aos trabalhadores do INSS contra qualquer tipo de retaliação em virtude da greve realizada recentemente. A utilização da greve enquanto instrumento de pressão é um direito de todos os trabalhadores dos setores público e privado, indistintamente. Por isso nos colocamos ao lado desses trabalhadores em defesa do livre exercício da atividade sindical e dos métodos da classe para pressionar governos e patrões com objetivo de exigir o atendimento às suas reivindicações.

A greve realizada pelos servidores do INSS em todo o país foi mais do que justa e se colocou como uma das lutas mais importantes da atual conjuntura. Os trabalhadores não aceitaram o rebaixamento de suas conquistas históricas e por isso se dispuseram a enfrentar tanto o governo como a justiça dos ricos.

Lula é hoje o principal representante dos interesses das oligarquias e das elites brasileiras, por isso ataca os trabalhadores e reprime suas lutas, se apoiando nos poderes legislativo e judiciário. Esse governo, que posa de “defensor dos pobres”, chamou a justiça burguesa para atacar os trabalhadores grevistas. Esta, além de julgar a greve ilegal e abusiva, decretou “Interditos Proibitórios” e multas inacreditáveis contra as entidades sindicais, além de tentar impor o desconto dos dias parados e fazer ameaças de demissão. Em alguns piquetes, os ativistas sofreram forte repressão sendo inclusive espancados pelas polícias militar e federal. Nem FHC reprimiu tão pesadamente uma greve de trabalhadores do serviço público federal. Uma demonstração inequívoca de que vivemos uma situação de avanço do processo de criminalização dos movimentos sociais, comandado pelos três poderes da sociedade capitalista: Executivo, Legislativo e Judiciário.

Em uma conjuntura difícil, de grave crise econômica mundial, quando o governo Lula e os patrões impõem medidas duras contra os trabalhadores, a reação dos servidores do INSS deve ser tomada como exemplo de resistência e de disposição de luta. Neste sentido, o PSTU defende intransigentemente a autodeterminação dos trabalhadores para definirem livremente sobre suas lutas, sobretudo em relação às greves que são determinantes para a obtenção de suas conquistas.

Ao longo da história, as lutas e as greves da classe trabalhadora foram determinantes para mudanças cruciais na economia e na política desse país. No fim dos anos 1970, as grandes greves operárias abalaram o regime militar, sendo imprescindíveis para o fim da ditadura. Várias categorias também cruzaram os braços, por exemplo, para protestar contra o governo Collor, que caiu em meio a gigantescas mobilizações populares. Até mesmo Lula, a despeito da farsa contra os trabalhadores depois de assumir o poder, dependeu dos movimentos e mobilizações da classe trabalhadora para chegar a Presidência da República.

Os ataques que os trabalhadores e suas organizações vêm sofrendo do governo Lula e da justiça burguesa exigem uma resposta de todo o movimento sindical e popular brasileiro. É necessário construir a unidade de todos os trabalhadores, do campo e da cidade; sindical, popular e estudantil colocando-se na linha de frente contra a política de ataques do governo e dos patrões, na defesa intransigente dos interesses da classe trabalhadora.

O PSTU se solidariza com o movimento e luta dos trabalhadores do INSS. Mais que o apoio político, estaremos firmes e envolvidos com todas as ações que se desenvolvem para garantir o êxito de suas lutas.


Não a criminalizações do movimento sindical, popular e estudantil;

Nenhuma punição contra os trabalhadores do INSS;

Manutenção da jornada de 30 horas semanais;

Atendimento das reivindicações já!



São Paulo, 20 de julho de 2009.

PARTIDO SOCIALISTA DOS TRABALHADORES UNIFICADO - PSTU
www.pstu.org.br


LEIA TAMBÉM
Greve do INSS enfrentou repressão de governo e Justiça

Tuesday, July 21, 2009

Cerca de 360 trabalhadores demitidos da fabricante de autopeças New Fabris, em Chatellerault, na França, fechada em junho, ocuparam ontem a empresa e ameaçaram explodir o local. Eles exigem das montadoras Renault e PSA Peugeot Citroën, principais clientes da New Fabris,
indenização de 30 mil euros (US$ 42 mil) para cada um pela demissão.

O delegado da CGT (Confederação Geral do Trabalho), Guy Eyermann, disse à emissora France Info que botijões de gás ligados entre si serão explodidos se não houver acordo até o próximo dia 31. Segundo os trabalhadores, cilindros ligados com um cordão inflamável foram instalados há cerca de dez dias na parte externa da fábrica. "Se Renault e PSA se recusarem a nos dar a indenização, isso poderá explodir", disse Eyermann.

Os trabalhadores foram demitidos após a liquidação judicial da empresa, que esteve sob o controle do grupo italiano Zen por seis meses. No próximo dia 20, eles devem reunir-se com o ministro da Indústria do país.

Ainda ontem, porém, o risco foi descartado pela assessora do governo local de Chatellerault (305 km a sudoeste de Paris), Anne Frackowiak. Ela afirmou que o diretor da fábrica havia confirmado que os botijões estavam vazios.

As montadoras Renault e PSA Peugeot Citroën disseram que não cabe a elas o pagamento de eventual indenização, e sim aos acionistas e à administração judicial.

O episódio em Chatellerault segue uma série de atos de violência deflagrados na França desde o agravamento da crise global. Neste ano, executivos de empresas como Sony, Caterpillar e Molex foram feitos reféns na França por trabalhadores demitidos em razão da crise.

-------------------------
Com informações da Folha de São Paulo e agências internacionais

Saturday, July 18, 2009

K A G U M


K A G U M

Hampir satu dekade tidak mengunjungi Amerika bisa membuat astonishing, heran atau kagum atas perkembangan atau kemajuan yang terjadi. Sebaliknya, walau waktu sudah berganti millenium,sifat universal manusia dibelahan dunia manapun nampaknya tidak banyak berubah. Itulah yang saya rasakan setelah ke sana lagi 9 tahun paska krisis ekonomi. Baru dimusim dingin 2007 kesempatan itu datang lagi setelah kedua anak saya, Monang dan Pahala patungan merogoh kantong untuk trip kali ini, untuk membahagiakan papinya.

Kekaguman pertama terjadi waktu mengisi applikasi visa ke kedutaan Amerika lewat internet, down load formulir, mengisi dan langsung diemail untuk mendapatkan nomor pendaftaran dan tanggal wawancara. Beberapa tahun silam, pendaftaran dilakukan dengan mengisi formulir secara manual.

Pada hari menginjakkan kaki di kota La Habra, Orange county, California Selatan saya cukup kaget menemui empat buah Laptop bagi empat penghuni rumah, termasuk satu Laptop untuk multi media Gereja. Beruntung, saya bebas memakai Laptop Gereja sehingga bisa ikut ikutan on line tiap hari, kecuali hari minggu siang.
Dalam situasi demikian maka setiap orang tidak pernah bisa lepas dari komputer, baik di rumah, di kantor, diperpustakaan atau di tempat pelayanan umum lainnya.
                                          Toko Buku Borders

Astonishing, kekaguman ini kemudian berlanjut pada waktu belanja di Supermarket dan Toko Buku. Tergoda juga mencoba proses applikasi pekerjaan di Komputer khusus di Supermarket dan di Toko Buku besar itu. Saya mencoba mengisi applikasi di Toko Buku Border dan di Supermarket TARGET di Harbour Street. Tidak ada yang melayani, komputer langsung turn on, isi form dan menjawab banyak pertanyaan yang. sulit    Walau pertanyaan tidak termasuk mudah, saya dapat menyelesaikannya dalam waktu hampir satu jam, sampai mentok di dua pertanyaan yang tidak mungkin dijawab sembarangan. Karena nanti pada waktu wawancara, pasti akan ketahuan juga.

Pertanyaan itu adalah mengenai tempat dan nomor telpon Perusahaan/Lembaga terakhir bekerja. Saya masukkan nomor telpon Jakarta, ditolak. Baru setelah memasukkan nomor telpon BRI Cabang New York, baru proses bisa berlanjut. Pertanyaan yang paling sulit adalah :"Apakah legal bekerja di State?". Saya memang punya Social security (SS) yang lama,dengan catatan di balik SS tsb. dilarang bekerja. Mau diisi No.SS lama pasti applikasinya ditolak, karena pakai nomor SS yang kedaluwarsa.
                                Orange county Library

Lanjutan kekaguman itu belum juga usai. Pada waktu memanfaatkan fasilitas di Perpustakaan Umum Cabang La Habra. Kalau boleh pinjam istilah "take advantage", karena sebagai warga asing saya bebas memanfaatkan semua fasilitas di perpustakaan itu, for free, seperti halnya warga Amerika. Saya sudah menjadi member dengan KTP/ID penduduk California, yang sudah saya dapat sejak puluhan tahun dan baru saja saya perbaharui. Juga tanpa bayar. 
Pinjam buku untuk 2 minggu dan dapat diperpanjang langsung ke counter atau lewat email. Jika buku yang kita cari tidak ada di Cabang setempat, mereka akan mencarinya ke Cabang lain dan kita akan diberitahu via email jika bukunya sudah datang.

Fasilitas komputer di perpustakaan itu seperti di warnet saja,ada belasan unit, termasuk hot spot, juga tidak dipungut bayaran. Benar benar warganya dimanja oleh Pemerintah. Bandingkan dengan internet di Perpustakaan Nasional di Salemba, Jakarta, yang sangat memprihatinkan.
 

Demikian halnya, memanfaatkan printer dan mesin foto copy, kita betul betul independen, mengoperasikan sendiri tanpa ada pegawai yang memberi petunjuk atau melayani. Pegawai perpustakaan hanya memberi petunjuk lisan sekedarnya, seolah olah saya dianggap sudah mengerti, seperti layaknya warga lainnya. Mungkin dikira saya adalah salah satu warga Asian American lainnya.

Sayapun berlagak sok tahu saja. Ternyata ada lima langkah yang harus ditempuh sebelum bisa mengoperasikan komputer untuk internet. Pada mulanya saya mengalami kesulitan dan butuh dua kali bolak balik ke meja pegawai perpustakaan untuk bertanya. Step pertama adalah next available. Step berikutnya nomor member, password lalu grup komputer (unuk anak, dewasa atau mana saja). Step terakhir adalah nomor komputer yang available (kosong). Jika semua komputer sedang dipakai, maka ada pesan, diminta menunggu 15 ,20 menit sampai satu jam, sampai ada yang lowong.

Kesulitan yang menggelikan juga muncul ketika mengoperasikan mesin foto copy.Tapi saya tidak merasa malu karena orang lain cuwek, tidak ada yang mempedulikan. Jika di Indonesia biasanya tinggal minta bantuan operator. Saya terpaksa pakai mesin foto copy karena printer hanya menyediakan 6 lembar maximum, for free. Lebih dari itu, mesti bayar dengan biaya yang lebih mahal dibanding biaya fotocopy.

Beberapa koin terpaksa direlakan ditelan oleh mesin karena salah operasi, seperti cetakan miring, kurang ke kiri/kanan atau kurang besar. Mau bertanya terus malu juga. Tetapi beberapa kali salah, pada akhirnya berhasil juga. Rupanya bukan saya saja yang kesulitan, Warga setempat malah pernah bertanya ke saya bagaimana mengoperasikan printer. Dengan senang hati saya pun menolong, pada hal baru tahu beberapa hari sebelumnya.

Memanfaatkan fasilitas perpustakaan ini buat saya astonishing, mengagumkan, sangat menyenangkan. Walau banyak anak anak sekolah yang belajar, pakai komputer, pinjam buku dll, tetapi tidak berisik. Jika ada suara sedikit mengganggu, pegawai perpustakaan akan mengingatkan anaknya, orangtua atau pendampingnya.

Kenyamanan lain yang cukup mengagumkan adalah tersedianya hotspot atau WIFI di Toko Toko Buku besar, Restoran, Perpustakaan dan tempat umum lainnya. Gratis pula. Hanya dengan memesan secangkir kopi $.2-4 bisa duduk selama toko buka. Buku atau majallah tinggal ambil dari rak rak buku dan dibawa ke meja cafe. Habis baca, tidak wajib mengembalikannya ke rak. Nanti pegawai Toko buku atau pegawai cafe akan mengumpulkannya kembali. Dan, buku/majallah yang dibaca itu tidak perlu bayar sewa, cukup dengan secangkir kopi dengan atau tanpa kue.

Sifat manusia yang universal.

Seperti saya jelaskan pada awal tulisan ini, bahwa ada satu hal yang membuat hati saya tertegun dan tersentuh ialah bahwa warga Amerika yang terkenal individualistis, egois, free, cuek, ternyata sama dengan kita, terutama dalam hubungan kasih mengasihi dalam keluarga, terhadap istri, suami, anak, orang tua, orang yang sedang berpacaran dan antar saudara.


Hal ini saya ketahui ketika secara kebetulan saya mencari stasiun Radio dan lagu lagu lembut pengantar tidur. Setelah mencoba beberapa gelombang, akhirnya berhenti dia angka 130,5 Los Angeles coast dengan penyiar favorit pendengar bernama Karen, termasuk favorit saya. Suaranya lembut, memberi komentar yang membangun hubungan atau memberi simpati kepada yang sedih dan memberi pertanyaan yang menyentuh.

Sebenarnya acaranya hampir sama saja dengan Suara pendengar di Indonesia. Tetapi Radio LA coast ini ada nuansa khas sehingga bisa merambah Negara Negara bagian di luar California. Dia khas mengalunkan lagu lagu slow, melancholis, baik lagu lama maupun lagu baru. Hampir semua bernuansa kasih dan cinta. Kadang pendengar berbicara serak sedih, bahkan sampai menangis. Masih saya ingat seorang Ayah menangisi anaknya yang berulang tahun hari itu, tetapi sang anak gugur telah gugur di medan pertempuran di Irak.

Begitu juga dengan para suami yang begitu mencintai isterinya, diuangkapkan dengan terbuka. Aneh mungkin, justru sang suami atau gender pria yang lebih sering minta maaf atau mengambil hati pujaan hatinya atau istrinya yang lebih banyak dibandingkan dengan kaum hawa. Demikian juga dengan kedekatan hubungan anak (pria/wanita) dengan Ibunya, begitu rasa terima kasih mereka terhadap wanita yang melahirkan dan membesarkannya.

Begitu indahnya hubungan kasih, cinta dan kehidupan warga Amerika, yang sebelumnya mindset saya telah memberi nilai negatif. Setelah mengalami sendiri, mendengar dan berjumpa, ternyata sifat manusia itu universal, tanpa mengenal ras, agama dan tapal batas Negara.


CONTRA A PROPOSTA DE DILMA E LOBÃO PARA O PRE-SAL

A FNP REAFIRMA SUA POSIÇÃO:

O PETROLEO TEM QUE SER NOSSO. PETROBRÁS 100% ESTATAL.

Os meios de imprensa divulgaram nesta segunda feira, 13 de julho, a declaração do ministro de Minas e Energia, Edison Lobão, do novo modelo de marco regulatório que o governo está preparando para a produção petrolífera na camada pré-sal.


Este estabelecerá o sistema de partilha na produção do pré-sal e "em outras regiões estratégicas" onde houver grandes reservas de petróleo e que para todas as demais áreas, será mantido o regime atual de concessão e confirmou que, para gerir essas reservas e fazer a sociedade com as empresas selecionadas a partir de licitação, o governo vai criar uma estatal específica e um fundo social gerido pelo Ministério da Fazenda.


Tal proposta seria entregue, num prazo de 15 dias, ao presidente Luiz Inácio Lula da Silva e a partir daí, o presidente a enviará ao Congresso em regime de urgência constitucional. Disse ainda que na reunião a proposta foi apresentada por Lobão e pela ministra-chefe da Casa Civil, Dilma Rousseff, ambos da comissão interministerial criada para elaborar o novo marco regulatório.


Ao tomar conhecimento desta medida a FRENTE NACIONAL DOS PETROLEIROS quer explicitar que esta proposta vai contra todas as reivindicações dos movimentos sociais brasileiros que lutam para que todo o petróleo seja nosso, de todo povo brasileiro, e que a Petrobras seja re-estatizada tornando-se totalmente estatal (100%), que todos os leilões sejam anulados e as áreas já hoje entregues as multinacionais petroleiras sejam devolvidas ao Estado.


A FNP também se declara contra a fundação da nova estatal, que na verdade significa somente uma troca de papeis com a Agencia Nacional de Petróleo (ANP) e significará o avanço da privatização da Petrobras.


A proposta apresentada pela Comissão Interministerial mantem a politica de FHC de entrega do patrimônio nacional e de ataque a nossa soberania nacional.


Neste sentido a FNP chama ao conjunto das entidades e movimentos sociais e intensificarem a campanha reforçando os atos e manifestações de rua assim como as campanhas de conscientizaçã o de todo o povo brasileiro.


E convoca a estas entidades e toda a população nacional a estar presente na primeira quinzena de agosto em Brasília para exigir que o presidente Lula não encaminhe este projeto de lei ao Congresso Nacional, que o refaça, e encaminhe o projeto de lei que seja compatível com os desejos e necessidades de todo o povo brasileiro.

São José dos Campos 14 de julho de 2009

Direção Provisória da FRENTE NACIONAL DOS PETROLEIROS.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

FREE HOT VIDEO | HOT GIRL GALERRY