|
---|
Friday, July 31, 2009
Dengan kecepatan 40 miles per jam, Lexus biru itu meluncur dari kota La Habra menuju Bandara Los Angeles, LAX. Karena sudah larut malam jalanan free way itu tidak begitu padat dan Bandara dapat dicapai hanya dalam waktu 45 menit. Turun dari mobil mendorong kereta berisi 2 koper besar, sambil memperhatikan sekeliling. Dalam batin timbul pertanyaan apakah ini the last time I saw L.A. Bisa kah kami kesini lagi sekeluarga ber sama sama?
Sambil menunggu waktu chek in 30 menit lagi, saya sempatkan berkeliling Ruang kebe
rangkatan yang penuh dengan penumpang keberbagai tujuan. Perasaan terasa tersayat perih, mengenang masa lalu bersama keempat anak berkumpul disini, sekali gus miris akan meninggalkan anak kedua yang sudah belasan tahun, nikah dan bekerja di State.
Setelah selesai check in, kami naik ke Lantai 1 memesan kopi dan snack, persis tengah malam, satu jam sebelum take off jam 01 am. Ditempat ini pula kami sering minum bersama 3 anak, yang mengantar kami bila waktu pulang ke Jakarta. Kenangan ini rewind seperti baru saja terjadi, pada hal sudah sepuluh tahu yang lalu, sebelum krisis tahun 1998.
Monang (baju putih)
Sambil menanti panggilan boarding, saya sempatkan berpesan kepada anak saya : "Mon, waktu cutimu jangan dihabiskan, sisakan beberapa hari", kata saya. Dia tidak mengerti maksud saya dan menjawab :"Tahun lalu saya kan sudah cuti ke Indonesia papi", katanya. Sambil meneguk kopi panas saya menambahkan :" Jika ada apa apa sama mami/papi, kamu bisa datang ke Jakarta anytime", kata saya menjelaskan. Dengan tenang dia menjawab :"Kalau ada hal yang sangat penting, boleh kok minta cuti khusus", katanya dengan mantab.
Selama satu semester tinggal di Amerika, ada hal yang aneh dan lucu dipandang dari kaca mata Kebudayaan Indonesia terutama dari sudut pandang adat Batak (walau saya tidak begitu kental mengikutinya). Saya dan besan, warga keturunan, beristeri suku Batak, sering jalan bersama. Jika dia off dari pekerjaannya di detention center, dia akan menjemput saya.
Pagi pagi dia mengetok kamar saya :"Pak Situmeang, ayo kita exercise", katanya. Dengan Jeep machonya kami berdua berangkat ke fitness building. Di counter dia hanya bilang :"He is my friend", saya mencatatkan nama tanpa bayar, langsung excersise. Rupanya besan sekeluarga member disitu, tapi jarang dipergunakan.
Setelah exercise di lantai 1 untuk otot atau lari di sepeda stationer, dilanjutkan di lantai 2 dengan latihan beban punggung, tangan dan perut. Satu jam cukup menguras keringat dimusim dingin itu. Sambil menunggu pendinginan badan, besan berkata :"Kita mandi air panas di kolam ya", katanya. Sementara lupa dengan kebudayaan Indonesia dan adat Batak (dalam lingkungan Amerika), sayapun ikut turun lagi ke lantai satu. Diruang ganti kedua besan buka baju, sisa pakaian renang. Kemudian melangkah masuk ke kolam hanya dengan pakaian minim. Di kolam bundar kecil itu ada 4 orang lain.
Punggung disemprot dari dinding kolam, rasanya seperti reflexy dipijat pijat dan panas air yang cukup membuat badan segar kembali. Setelah penat hilang, saya diajak lagi:"Mari kita ke ruang spa", katanya.Dua ruang spa hanya beberapa meter dari kolam. Sebelum masuk ruang spa, badan disiram dulu dengan air dingin dari shower air . Dengan hanya memakai handuk, kedua besan ini duduk bersama beberapa orang lain. Keringat bercucuran tiada henti.
Buat saya ini kebersamaan yang unik diantara besan. Dari raut wajahnya, besan saya tidak ada perasaan sungkan, menganggap itu hal biasa dalam lingkungan setempat. Sama biasanya seperti saya diantar oleh menantu saya ke perpustakaan, ke dokter ke mal atau ke tempat lainnya. Dalam budaya Batak, kedua hal tsb sedapat mungkin dihindari.Kebersamaan seperti ini mungkin for the first and the last time buat saya.
Karena merasa merupakan the Last time ke Library, saya luangkan waktu yang cukup lama memilih Novel.Seorang senior citizen wanita, petugas perpustakaan khusus buku buku second dengan ramah menyambut seorang pengunjung senior dan saya. Tanpa sungkan dia berkata :"You are handsome if you smile", katanya, sambil melajutkan :"You buy a lot of books", katanya.
Novelis Nora Robert
Memang saya membeli Novel Novel karangan Novelis ternama seperti Nora Robert, Mary Higgin Clark, Anne Rice dan David Baldaci. Saya jawab:"I will take it home to Indonesia",sambil membayar. Harga Novel second hanya $ 1 dan relatif masih baru. Disana ada kebiasaan menyumbangkan Buku bekas dan dijual kembali dengan harga murah.Bahkan ada perpustakaan yang menggelar event khusus penjualan khusus Novel second.Peminatnya juga berjubel
Tidak saya sia siakan pula pergi ke Toko Buku besar Borders menjelajahi rak rak buku. Ternyata di rak khusus dijual dengan discount seperti Buku buku Biography tokoh terkenal dan Buku Rohani yang di Indonesia, harganya pasti ratusan ribu rupiah. Di sini cuma dijual paling mahal $ 5.
Ketika check ini di Bandara petugas loket Cberkata hina Airline berkata :"Overweight cost is $ 105". Merasa ongkos itu mahal, saya berkata kepada anak saya :"Ga apa apa, papi tinggal saja koper ini", seraya melanjutkan :"Nanti kirim secara bertahap saja", kata saya. Tetapi dia berpendapat lain dan menjawab:"Tidak apa apa pi", katanya sambil menyerahkan Credit card untuk membayar.
Itulah cerita The last time I saw.....Los Angeles
Labels: TRAVELLING
Thursday, July 30, 2009
Operários chineses lincham até a morte executivo que ia demitir 30.000 pessoas
0 comments Posted by barongan at 2:18 PMPEQUIM, China — A venda de uma siderúrgica chinesa foi cancelada depois que um executivo foi espancado e morto pelos trabalhadores aos quais acabara de anunciar uma drástica medida de demissões, informaram nesta segunda-feira os jornais locais.
Os funcionários da Tonghua Iron and Steel, com sede na província de Jilin (nordeste), espancaram até a morte na sexta-feira passada um dos diretores da empresa, Chen Guojun, que anunciou a demissão de até 30.000 funcionários, segundo o jornal China Daily.
Cerca de 3.000 operários interromperam a produção e cercaram Chen, recém-nomeado ao cargo, depois do anúncio da compra de sua unidade pelo grupo privado Jianlong.
"Chen decepcionou e provocou os operários aos anunciar que a maioria ficaria desempregada em três dias", indicou o China Daily, citando um policial local.
Depois de espancar o executivo, os empregados ainda enfrentaram a polícia e impediram a ambulância de ter acesso ao ferido.
Chen morreu horas depois de chegar ao hospital.
Um porta-voz do governo provincial de Jilin, contatado pela AFP, confirmou a morte do executivo, mas não quis dar detalhes, afirmando apenas que a polícia abriu uma investigação sobre o assassinato.
Também informou que o governo provincial decidiu interromper a fusão.
A agência oficial Nova China explicou que a venda foi anulada para impedir que a situação se agrave.
Embora os conflitos sociais estejam sendo cada vez mais frequentes na China e com desdobramentos cada vez mais violentos, esta é a primeira vez que milhares de trabalhadores matam um chefe.
"Recentemente ouvi falar em casos de sequestros de executivos, mas não de chefes atingidos até a morte desta forma, que eu saiba esta é a primeira vez", declarou Jean-Philippe Béja, do Centro de Estudos Francês sobre a China contemporânea (CEFC) em Hong Kong.
Em comunicado publicado no fim de semana, o Centro de Informação para os Direitos Humanos e a Democracia, com sede em Hong Kong, afirmou que 30.000 operários participaram no movimento de protesto, e que cerca de cem pessoas foram feridas em enfrentamentos com a polícia antidistúrbios.
"Nunca vi nada igual", declarou à AFP Geoff Crothall, do China Labour Bulletin, em Hong Kong.
"Na maioria dos casos de privatizações, os funcionários temem ser demitidos com indenizações irrisórias, com as quais poderiam viver apenas alguns anos", acrescentou.
Em 15 de junho, na cidade de Dongguan, um operário de uma companhia metalúrgica matou a punhaladas dois executivos taiwaneses e feriu gravemente um terceiro executivo, em um conflito trabalhista, com 200 colegas que nada fizeram.
A China registra a cada ano milhares de "incidentes de massa", dominação oficial dos conflitos sociais, distúrbios, manifestações por supostos casos de corrupção ou abusos por parte de responsáveis locais.
Labels: crise econômica
Labels: LEARNING
Ketika kami berdua turun dari panggung, di Gedung BI yang apik itu, Bapak Hartawan, Direktur BRI, mengatakan:"Direksi tidak salah mempromosikan Anda ke Cabang Kudus", katanya. Tepuk tangan peserta rapat membuat hati berbunga bunga. Direktur yang murah senyum ini lalu menyambung :"Jika performancenya tidak sebaik itu, S.K bisa dibatatlkan", katanya bergurau, disambut suara geerr dan tepuk tangan. Sementara itu, pak Munari dipindahkan menjadi Kepala Bagian Pendidikan di Kantor Pusat BRI.
Jemput setoran pakai mobil dengan jadwal tetap dan pelayanan di loket maximum 5 (lima) menit. Indikator kecepatan pelayanan BRI Kudus ini nampak pada sepinya ruang tunggu nasabah dan minimnya mobil nasabah parkir di depan Kantor. Saya mencoba menghilangkan image bahwa nasabah yang berjubel di ruang tunggu dan banyak mobil diparkiran sebagai indikasi Bank yang berhasil.
Dalam suatu Raker Kepala Cabang BRI se Jawa Tengah di Semarang dengan seluruh Kepala cabang, saya berkata:" Saya gelo karena Kantor pusat tidak dapat memenuhi permintaan PR.Jarum", kata saya. Pak Oemaryudi membela diri:"Kantor Pusat tidak punya valas Dollar Swiss", katanya. PR.Jarum memang mengajukan Kredit Investasi pembelian mesin mesin dengan Valas Dollar Swiss. Jawabannya rasanya tidak masuk akal saat ini. Tetapi di tahun 1980an Pemerintah ketat mengawasi pergerakan Valuta Asing.
Saya melongo tidak percaya apa yang baru saya dengar dan hanya bisa bilang "Terima kasih pak". Sebelum menutup telpon disambung lagi :"Kalau nanti Bapak jadi Direktur, jangan lupa sama saya", pesannya sambil menutup telpon. Atasan saya, Pak Martono, Kepala KANWIL BRI Semarang memprediksi saya nanti akan menjadi salah satu Direktur di BRI. Memang jalur ke puncak tertinggi di BRI salah satunya ialah jika berhasil menjadi Kepala cabang di Surabaya.
Dinner party di Surabaya
Upaya kerja keras dengan segala Strategy dan taktik mengantar saya ke posisi puncak, Kepala cabang BRI di Ibukota Jawa Timur Surabaya. Tidak pernah terbayang, tidak pernah kasak kusuk, belum pernah ikut golf dengan Direksi dan nasabah nasabah inti BRI, tiba tiba menjadi Kepala Cabang besar. Apalagi menjadi Direksi, bermimpi saja tidak berani karena, karena tidak pernah diangankan sama sekali.
Labels: GROWTH
Wednesday, July 29, 2009
Resolução da Coordenação Nacional da Conlutas sobre a “Influenza A - H1N1” (Gripe Suína)
0 comments Posted by barongan at 5:11 AMConsiderando que:
1. Os últimos governos, apesar de afirmarem que investiram em saúde e acabaram por utilizar todo o dinheiro no PROER e para salvar bancos.
2. O Governo Lula manteve a mesma política de sucateamento da saúde optando por utilizar recursos públicos para salvar empresas privadas e bancos.
3. Os governos estaduais e municipais aplicam para a saúde exatamente a mesma política nacional e, com isso, impõe péssimas condições de trabalho e, conseqüentemente, atendimento precário a população.
4. O desmonte dos serviços públicos e do SUS junto com a inexistência de uma política de educação continuada e de treinamento para atendimento e identificação dos casos em situações de endemias e pandemias revela o grande despreparo para estas situações, a exemplo das epidemias de dengue e febre amarela.
5. No inicio da epidemia, o governo utilizou-se da grande imprensa para dizer que a população estava segura, pois somente quem ia ao exterior ou tivesse contato com quem viajou corria risco de adoecer.
6. O vírus “Influenza A – H1N1” tem uma mortalidade próxima a outras gripes comuns, porém a sua virulência e contágio são superiores a outras gripes e sua identificação e diagnóstico é mais difícil, pois os sintomas são os mesmos de uma gripe ou resfriado comum.
7. A possibilidade de uma vacina que amenize ou cesse o contagio do vírus será disponibilizada no Brasil apenas no inverno de 2010, quando o auge da gripe já deve ter passado.
8. O número de casos de pessoas acometidas por este vírus e numero de óbitos notificados é muito inferior aos casos que realmente existem. Já há dificuldade de acesso ao serviço público nas unidades básicas e hospitais e não existem kits suficientes para os exames que identificam a contaminação.
9. Os governos municipais, estadual, federal e a imprensa remetem a responsabilidade das mortes e dos casos não tratados aos trabalhadores, e não a falta de uma política de saúde efetiva de prevenção e promoção da saúde.
10. A falta de verba e de investimento na saúde leva a que, mais uma vez, quem mais sofre sejam os trabalhadores e os setores mais explorados, que não têm acesso aos hospitais particulares e aos convênios médicos, dependendo exclusivamente do atendimento pelo SUS.
Resolve que:
1. O governo Lula aplique imediatamente toda a verba destinada à saúde.
2. O governo Lula utilize imediatamente também a verba especifica aprovada para Influenza A.
3. Haja garantia de que os trabalhadores da saúde tenham condições de trabalho e EPI em quantidade suficiente para o atendimento a todos os casos suspeitos e confirmados.
4. O governo federal institua / implemente os procedimentos necessários à ampliação da rede médica assistencial para o atendimento da população com suspeita de infecção pelo vírus.
5. O governo federal e o ministério da saúde implantem um sistema nacional de notificação de casos de Influenza A.
6. O governo Lula e o Ministro José Temporão providenciem a imediata disponibilizaçã o de kits de detecção para que todos os casos suspeitos possam ser testados.
7. O governo federal e o ministério da saúde interrompam e revertam imediatamente os desmontes do SUS, todos os casos de terceirização e privatização dos serviços e invista na valorização do trabalhador, prevenção e na promoção da saúde.
Rio de janeiro, 26 de julho de 2009.
Labels: conlutas, governo Lula, gripe suína
Monday, July 27, 2009
DESCASO COM O TRABALHADOR: Acidentes do Trabalho matam mais que a dengue, mas inexiste verba para prevenção
0 comments Posted by barongan at 5:17 AM
Amigos e amigas,
Vejam a importante notícia título desta postagem, clicando abaixo, um atalho para o blog do amigo Luiz Salvador, presidente da Abrat (Associação Brasileira dos Advogados Trabalhistas) que originalmente postou a matéria.
Abraços,
Adriano Espíndola
Sunday, July 26, 2009
Di pantai ini
Nafas terengah
Seirama ombak memecah
peluh membasahi raga
Sepanjang pantai
Kita berlari bertelanjang kaki
Mengejarmu ke dermaga tua
Mengguratkan rindu di hati
Dibalik bukit landai
Ombak asa terhempas di batu karang
Sekokoh cintaku
Seluas laut tak bertepi
Dibangku pantai
Berpeluk dengan mata sembab
Tak kuasa melepas kepergianmu
Mendayung biduk bekas
Dari pantai ini
Kau pergi mengiring semilir bayu
Yang berbisik lirih:
"Jika sendu,datanglah kesini"
Labels: POEMS
Saturday, July 25, 2009
Friday, July 24, 2009
Labels: Honduras
Thursday, July 23, 2009
(Coreia do Sul) Últimas notícias da luta na Ssangyong Motors
0 comments Posted by barongan at 2:06 PMLabels: crise econômica, trabalhadores em luta
Wednesday, July 22, 2009
PSTU: Todo apoio às reivindicações dos trabalhadores do INSS e em defesa do direito de greve
0 comments Posted by barongan at 12:23 PMO Partido Socialista dos Trabalhadores Unificado (PSTU) vem trazer seu total apoio aos trabalhadores do INSS contra qualquer tipo de retaliação em virtude da greve realizada recentemente. A utilização da greve enquanto instrumento de pressão é um direito de todos os trabalhadores dos setores público e privado, indistintamente. Por isso nos colocamos ao lado desses trabalhadores em defesa do livre exercício da atividade sindical e dos métodos da classe para pressionar governos e patrões com objetivo de exigir o atendimento às suas reivindicações.
A greve realizada pelos servidores do INSS em todo o país foi mais do que justa e se colocou como uma das lutas mais importantes da atual conjuntura. Os trabalhadores não aceitaram o rebaixamento de suas conquistas históricas e por isso se dispuseram a enfrentar tanto o governo como a justiça dos ricos.
Lula é hoje o principal representante dos interesses das oligarquias e das elites brasileiras, por isso ataca os trabalhadores e reprime suas lutas, se apoiando nos poderes legislativo e judiciário. Esse governo, que posa de “defensor dos pobres”, chamou a justiça burguesa para atacar os trabalhadores grevistas. Esta, além de julgar a greve ilegal e abusiva, decretou “Interditos Proibitórios” e multas inacreditáveis contra as entidades sindicais, além de tentar impor o desconto dos dias parados e fazer ameaças de demissão. Em alguns piquetes, os ativistas sofreram forte repressão sendo inclusive espancados pelas polícias militar e federal. Nem FHC reprimiu tão pesadamente uma greve de trabalhadores do serviço público federal. Uma demonstração inequívoca de que vivemos uma situação de avanço do processo de criminalização dos movimentos sociais, comandado pelos três poderes da sociedade capitalista: Executivo, Legislativo e Judiciário.
Em uma conjuntura difícil, de grave crise econômica mundial, quando o governo Lula e os patrões impõem medidas duras contra os trabalhadores, a reação dos servidores do INSS deve ser tomada como exemplo de resistência e de disposição de luta. Neste sentido, o PSTU defende intransigentemente a autodeterminação dos trabalhadores para definirem livremente sobre suas lutas, sobretudo em relação às greves que são determinantes para a obtenção de suas conquistas.
Ao longo da história, as lutas e as greves da classe trabalhadora foram determinantes para mudanças cruciais na economia e na política desse país. No fim dos anos 1970, as grandes greves operárias abalaram o regime militar, sendo imprescindíveis para o fim da ditadura. Várias categorias também cruzaram os braços, por exemplo, para protestar contra o governo Collor, que caiu em meio a gigantescas mobilizações populares. Até mesmo Lula, a despeito da farsa contra os trabalhadores depois de assumir o poder, dependeu dos movimentos e mobilizações da classe trabalhadora para chegar a Presidência da República.
Os ataques que os trabalhadores e suas organizações vêm sofrendo do governo Lula e da justiça burguesa exigem uma resposta de todo o movimento sindical e popular brasileiro. É necessário construir a unidade de todos os trabalhadores, do campo e da cidade; sindical, popular e estudantil colocando-se na linha de frente contra a política de ataques do governo e dos patrões, na defesa intransigente dos interesses da classe trabalhadora.
O PSTU se solidariza com o movimento e luta dos trabalhadores do INSS. Mais que o apoio político, estaremos firmes e envolvidos com todas as ações que se desenvolvem para garantir o êxito de suas lutas.
Não a criminalizações do movimento sindical, popular e estudantil;
Nenhuma punição contra os trabalhadores do INSS;
Manutenção da jornada de 30 horas semanais;
Atendimento das reivindicações já!
São Paulo, 20 de julho de 2009.
PARTIDO SOCIALISTA DOS TRABALHADORES UNIFICADO - PSTU
www.pstu.org.br
LEIA TAMBÉM
Greve do INSS enfrentou repressão de governo e Justiça
Labels: governo Lula, PSTU, serviço público, trabalhadores em luta
Tuesday, July 21, 2009
Trabalhadores demitidos na França ameaçam explodir fábrica de peças
0 comments Posted by barongan at 5:18 AMLabels: crise econômica, trabalhadores em luta
Saturday, July 18, 2009
Labels: GROWTH
FNP: Pela reestatização da Petrobrás. Não a nova estatal. O PETRÓLEO TEM QUE SER NOSSO
0 comments Posted by barongan at 8:24 AMCONTRA A PROPOSTA DE DILMA E LOBÃO PARA O PRE-SAL
A FNP REAFIRMA SUA POSIÇÃO:
O PETROLEO TEM QUE SER NOSSO. PETROBRÁS 100% ESTATAL.
Os meios de imprensa divulgaram nesta segunda feira, 13 de julho, a declaração do ministro de Minas e Energia, Edison Lobão, do novo modelo de marco regulatório que o governo está preparando para a produção petrolífera na camada pré-sal.
Este estabelecerá o sistema de partilha na produção do pré-sal e "em outras regiões estratégicas" onde houver grandes reservas de petróleo e que para todas as demais áreas, será mantido o regime atual de concessão e confirmou que, para gerir essas reservas e fazer a sociedade com as empresas selecionadas a partir de licitação, o governo vai criar uma estatal específica e um fundo social gerido pelo Ministério da Fazenda.
Tal proposta seria entregue, num prazo de 15 dias, ao presidente Luiz Inácio Lula da Silva e a partir daí, o presidente a enviará ao Congresso em regime de urgência constitucional. Disse ainda que na reunião a proposta foi apresentada por Lobão e pela ministra-chefe da Casa Civil, Dilma Rousseff, ambos da comissão interministerial criada para elaborar o novo marco regulatório.
Ao tomar conhecimento desta medida a FRENTE NACIONAL DOS PETROLEIROS quer explicitar que esta proposta vai contra todas as reivindicações dos movimentos sociais brasileiros que lutam para que todo o petróleo seja nosso, de todo povo brasileiro, e que a Petrobras seja re-estatizada tornando-se totalmente estatal (100%), que todos os leilões sejam anulados e as áreas já hoje entregues as multinacionais petroleiras sejam devolvidas ao Estado.
A FNP também se declara contra a fundação da nova estatal, que na verdade significa somente uma troca de papeis com a Agencia Nacional de Petróleo (ANP) e significará o avanço da privatização da Petrobras.
A proposta apresentada pela Comissão Interministerial mantem a politica de FHC de entrega do patrimônio nacional e de ataque a nossa soberania nacional.
Neste sentido a FNP chama ao conjunto das entidades e movimentos sociais e intensificarem a campanha reforçando os atos e manifestações de rua assim como as campanhas de conscientizaçã o de todo o povo brasileiro.
E convoca a estas entidades e toda a população nacional a estar presente na primeira quinzena de agosto em Brasília para exigir que o presidente Lula não encaminhe este projeto de lei ao Congresso Nacional, que o refaça, e encaminhe o projeto de lei que seja compatível com os desejos e necessidades de todo o povo brasileiro.
São José dos Campos 14 de julho de 2009
Direção Provisória da FRENTE NACIONAL DOS PETROLEIROS.
Labels: governo Lula, Petróleo, trabalhadores em luta