Monday, August 31, 2009

Amigos e amigas,
Mesmo nas memórias daqueles que não são ativistas por direitos sociais ainda estão vivas as imagens de um dos maiores massacres ocorridos no Brasil contra trabalhadores organizados lutando por seus direitos.
Refiro-me às impressionantes, barbarás e revoltantes cenas, que foram televisionadas, daquele que ficou conhecido como "Masssacre de Carajás", ocorrido há treze anos atrás, em Eldorado dos Carajás (PA).
A impunidade reina no presente caso, pois além do mandante do massacre não ter respondido por qualquer processo, leia-se Sr. Almir Gabriel (PSDB), os processos envolvendo cerca de 150 policiais que promoveram a chacina, ainda se arrastam na Justiça.
Entretanto, o mês de agosto de 2008 fecha com uma importante vitória: o STJ manteve a condenação imposta ao o coronel Mário Colares Pantoja, de 228 anos , e ao major José Maria Pereira de Oliveira, 158 anos e quatro meses de prisão, ainda que ambos estão respondendo o processo e prometem recorrer desta decisão em liberdade.
No capitalismo, mesmono Brasil que tem um governo que um dia se acreditou fosse dos trabalhadores, é assim: Os assassinos de trabalhadores ou ficam impunes ou respondem seus longos em intermináveis processos em liberdade.
Entretanto, regojizo com a manutenção da prisão destes dois canalhas!
Leia mais clicando nos atalhos abaixo (não é virus, podem confiar):

Sunday, August 30, 2009


"Saya dan sopir pakai mobil dan dia didrop", kata Effron menceritakan bagaimana baiknya Kepala cabang BRI Gresik, Jawa Timur, membantunya ketika sedang mengurus dokumen keimigrasian untuk mengurus Visa ke Amerika Serikat. Dokumen itu mulai membuat KTP baru beserta Kartu keluarga daerah Gresik sampai mengurus applikasi di Konsulat Surabaya. Bahkan Effron tinggal sementara di rumah salah seorang pegawai BRI di Gresik.
Cerita ini baru saya ketahui 15 tahun kemudian ketika saya cuti besar selama satu semester ke California tahun 2008. Peristiwa itu sendiri terjadi sekitar thn 1990an awal ketika saya masih menjabat di Kantor Pusat BRI. Waktu itu saya minta bantuan Kepala Cabang BRI Gresik, rekan sama sama Kepala Cabang, ketika saya menjadi Kepala BRI Cabang Pahlawan Surabaya (d/h Cabang Pasarturi).
Efron kami minta mengurus Visa lewat konsulat Surabaya karena applikasinya di Kedubes Amerika di Jakarta ditolak. Walau kepalanya sudah diplontos pada wawancara kedua kalinya, tetap saja ditolak, karena petugas Kedubes yang mewawancarainya sudah familiar wajah itu. Sebenarnya dia sudah lama tinggal di Lomalinda city,bersama Orangtua dan Saudara Saudaranya dengan statusnya sebagai WNI, yang tinggal illegal di California. Ketika pulang ke Indonesia, dia ditolak masuk kembali ke Amerika.
Akhirnya mencoba mengurus visa di Konsulat Surabaya, yang menurut info tidak terlalu ketat dan tidak perlu wawancara. Untuk itu kami hanya minta bantuan seseorang yang sudah biasa mengurus Visa di Konsulat. Dan berhasil, kebahagiaan yang tak terkira. Sebelumnya, dia sudah stres tinggal dengan neneknya di Jakarta, tanpa kepastian kapan bisa berkumpul dengan keluarganya di Amerika.
Saya sebenarnya tidak ada niat mau menemuinya selama di Amerika, karena selama ini kami tidak pernah berkomunikasi. Kami tidak tahu dia tinggal dimana. Rupanya info kedatangan saya dia dapat dari ayahnya John Situmeang, yang tinggal bertetangga rumah di Lomalinda City.
Lalu disuatu pagi hari minggu dia menelpon ke rumah, di La Habra city, mengajak kami makan di restoran Java Kitchen bersama isteri dan kedua anaknya, yang lahir disana dan tentu dengan sifat sifat Amerikanya yang lucu mendengar logat Inggrisnya.
Dia rupanya tidak melupakan peristiwa itu, yang kami sendiri sudah tidak mengingatnya lagi, karena kami membantu tanpa pamrih. Ketika itu kami mempunyai access dengan teman teman di Surabaya. Tidak ada ruginya membantu, walau hubungan keluarga kami tidak begitu dekat dan baru saja kenal dengan orangtuanya di Amerika.
Rupanya darah Situmeang juga turut berbicara.
Sebelum saya kembali ke Indonesia, saya diajak lagi makan siang. Kali kedua ini di restoran Padang. Disana ada beberapa restoran Padang yang lumayan enak, maklum lidah dan perut Melayu selalu mencari nasi sebagai menu prioritas. Jauhpun lokasinya tetap dicari.
Ketika tiba di rumah, turun dari mobil, isterinya menenteng beberapa tas belanjaan oleh oleh untuk saya bawa pulang ke Jakarta. Tiap bungkus sudah diberi nama untuk isteri dan anak anak yang dulu pernah sama sama di California, ketika mereka sekolah dan kuliah. Tidak lupa satu bungkusan istiwewa untuk saya, sebuah kemeja warna biru ngejreng merek Van Heusen made in Korea lengkap dengan dasinya.
Seusai makan siang, menjelang malam kami dibawa kerumahnya, yang persis bertetangga dengan orangtuanya. Saya ikut merasakan kebahagiaan mereka ketika dibawa melihat kamar kamarnya termasuk meninjau garasi yang dihuni 3 unit mobil, satu diantaranya sedan mewah dan mahal tentunya. Anak pengangguran dengan kepala plontos 15 tahun lalu itu, kini berhasil menggapai impiannya bersama istrinya yang bekerja sebagai nure.
Begitulah pertemanan bisa menjadi keluarga dekat dengan saling bantu membantu tanpa pamrih. Tuhan akan membalasnya, tidak selalu kita terima dari orang yang kita bantu, mungkin dari orang lain. Juga balasannya tidak selalu langsung kepada kita, bisa saja kepada anak anak bahkan cucu kita. Berbuat baik itu tidak salah dan tidak ada ruginya.

Friday, August 28, 2009

BUAYA DARAT


"Pusat...pusat...disini Monang1, Monang1...ganti", begitu suara Radio memanggil manggil disuatu rembang pagi yang dingin. Sampai tiga kali suara Radio diruang kantor di lantai 1 tidak berhenti memanggil. Dengan gerak malas, selimut saya pinggirkan, lari lari kecil turun tangga dan langsung menekan tombol on, mulut didekatkan ke handle dan memanggil:"Monang1...Monang1...disini pusat....ada apa, ganti",begitu tanggapan saya dengan nada agak jengkel, dibanguni dipagi buta itu. Suara Frisco diseberang sana, diatas alat berat di Pelabuhan Tanjungpriok, menjawab:"Pusat...Pusat...Monang1 kecelakaan....Monang1 kecelakaan, ganti", jawabnya dengan suara tergesa gesa.

Setelah dijelaskan kejadiannya secara rinci, tanpa mandi saya dan isteri langsung tancap gas Kijang warna merah, menuju Unit Terminal Petikemas I (UTPK.I), Pelabuhan Tanjungpriok, Jakarta Utara. Wilayah Tanjungpriok memang bukan lokasi penangkaran buaya, tetapi lingkungan itu dikenal sangar sejak zaman Balanda dahulu.

Dengan hanya mengangkat tangan kami lewati gerbang ke restricted area khusus itu. Setelah menyaksikan Container yang jungkir balik dan Alat Stacker berlengan panjang itu, kami diminta menuju Gedung Pelindo II, kantor Penguasa Pelabuhan itu.Dalam udara dingin pagi itu terasa panas hati dan kepala memikirkan risiko yang akan dibebankan ke pundak kami. Disana sudah menunggu pengawas operasi in duty dengan bicara serius dengan menjelaskan tanggung jawab kami, yang dinyatakan bersalah mengoperasikan alat. Tangan keringat dingin memegang pulpen untuk menandatangani Berita Acara.

Dengan kasus kecelakaan tsb. maka perusahaan akan menanggung biaya kerusakan 9 (sembilan) unit Container yang rusak dan urung masuk kapal untuk tujuan export ke Hong Kong. Kedua unit Reach Stacker milik kami terpaksa beroperasi walau tepat di Hari raya Idulfitri dengan operator pengganti, karena operator asli sedang cuti mudik ke Jawa Barat. Sdr.Frisco, operator sementara yang belum berpengalaman dari ruang kemudi mengendalikan lengan panjang Stacker ingin mengambil satu unit Container dari tier (tingkat) 5, tetapi satu dari empat lock yang ada diempat pojok Container tidak tepat masuknya, belum locked....dan braaakkk... Container jatuh dari ketinggian Tier 5 menimpa Container ditumpukan ke empat, menimpa Container di tingkat tiga hingga jatuh merobek Container paling bawah.

Sembilan Container yang urung ekspor itu, rusak (ringan sampai berat) dan nampak berisi tekstil yang akan dimuat ke kapal Lexior yang lego jangkar di dermaga UTPK I. Setelah surveyor resmi turun ke lapangan, menilai kerusakan Container dan isinya, maka ditetapkanlah kerugian sebesar US.$.45.000,- (setara dengan Rp. 450 juta). Jika dibandingkan dengan penghasilan kotor 2 unit Stacker per bulan hanya Rp. 100 juta, maka kami harus kerja rodi selama 5 bulan untuk bisa mendapatkan uang sebesar itu. Masih beruntung tidak di black list, dilarang beroperasi di Pelabuhan Tanjungpriok. Belum lagi harus angsur kredit Leasing Rp. 75 juta per bulan,ditambah biaya operasional dan biaya pegawai.Ada perasaan kecewa meninggalkan ruang kerja ber AC,leher diikat dasi sepanjang hari, sekarang pakai jeans dan sepatu kets dan harus
berfikir ekstra keras menyelesaikan kecelakaan ini.

Oleh sebab itu, hidup harus SMART jangan stres dan mengambil keputusan sedang emosi tinggi, memecat operator atau menuntutnya ke Pengadilan. Tidak ada nilai tambahnya.
Bekerja didaerah keras Tanjungpriok, yang banyak buaya daratnya, wajib hati hati jangan sampai dilibas ekornya dan dimangsa.

Karena sedang bingung, kamipun menyambangi Kantor pengacara Habonaran Situmeang SH, dibilangan Jatinegara, Jakarta Timur. Dulu, ketika Kantor law firm ini dibuka secara resmi, saya yang berstatus sebagai Ompung (Kakek), didaulat untuk membuka selubung papan nama Kantor pengacara ini.

Setelah kami ceritakan secara runtut kasus kecelakaan hingga tuntutan ganti rugi dari sebuah fabrik joint venture Korea di Tangerang, Bonaran SH tiba tiba berkata :"Ompung , perusahaan itu client saya", katanya dengan ketawa ceria. Karena prihatin melihat wajah kami yang tertekuk sejak datang, tanpa kami minta dia melanjutkan :" Besok saya kesana Ompung", katanya dengan PD. Muka yang tadinya tertekuk itu mulai senyum kecut, harap harap cemas. Benar saja, besok sorenya, setelah menemui pemilik fabrik, Bonaran menelpon dan berkata :"Ompung, mereka tidak nuntut ganti rugi ke Pelayaran", katanya.

Difihak lain, perusahaan pelayaran itu, PT.Tresna Muda mengirim surat claim ganti rugi kepada kami melalui PT.Pelindo II, BUMN pengelola pelabuhan itu. Ini mah benar benar Buaya darat yang mau menerkam siapa saja yang lengah dan dungu. Pemilik barang sendiri sudah mendapat ganti rugi dari Asuransi, sedang perusahaan Pelayaran masih menuntut lagi pembayaran ganti rugi dari kami.

Dengan tenang dan teliti, seperti kebiasaan saya sebagai Bankir senior, bekerja di Bank BRI 2 dekade, saya membaca semua dokumen claim sampai rinci. Ditengah tebalnya dokumen itu, saya memukan nama sebuah Asuransi. Tangan saya gatal saja langsung menelpon seseorang dengan berkata :"Pak apa betul Asuransi ini yang mencover ekspor barang untuk kapal Lexios", kata saya dengan sangat sopan, mengingat pepatah jika meminta tangan harus dibawah. "Betul pak, kami sudah membayar claim pemilik barang", suara seseorang diujung telpon, yang belum pernah kami kenal. Zaman gini masih ada orang yang suka menolong orang yang kesulitan, walau tidak kenal ? Alhamdulillah, Praise the Lord.

Setelah nomor seri Container kami bacakan satu persatu untuk memastikan akurasi Container yang urung berangkat, maka sebelum mengakhiri pembicaraan, saya berkata:"Pak boleh kami minta tolong bukti transfer pembayaran claim di fax", pinta saya dengan harap harap cemas. Diluar dugaan, tanpa menunggu, langsung dijawab:"Oh Boleh pak", katanya setelah mencatat nomor fax kami. Hanya lima menit mesin fax berdering dan mengeluarkan selembar copy transfer Bank .

Hasil ketelitian dan lebih mengandalkan logika ketimbang emosi, hasilnya diluar perkiraan. Langsung saya berteriak:"Mami...mami", kata saya memanggil isteri saya di lantai dua. Dia masih berjalan ditangga mau turun, saya menambahkan :"Ini fax bukti ganti rugi asuransi", kata saya mengibarkan fax yang masih hangat, dengan senyum lebar. Langsung saya membuat draft surat balasan kepada PT.Pelindo II dan Pelayaran dengan lampiran copy transfer Bank, yang isinya, keberatan membayar tuntutan ganti rugi.

Pada akhirnya, kami hanya membayar Rp. 5 juta untuk mengganti 1 unit Container yang sobek menganga lebar. Itupun, kalau mau boleh membawa pulang.
Hasil ketelitian, lebih mengandalkan logika daripada emosi, tenang, hasilnya diluar dugaan, terhindar dari terkaman Buaya darat.


ROBERTO AGUIAR, de Aracaju-SE, para o Site do PSTU

No dia 2 de agosto de 1989, morreu um dos maiores ícones da música brasileira, Luiz Gonzaga, o “Rei do Baião”

Gonzaga foi o criador de um gênero musical

genuinamente brasileiro, o forró. Fez com a sanfona, o triângulo e a zabumba o ritmo que foi popularizado de norte a sul do país, retratando, de uma forma simples e bela, o cotidiano do homem nordestino e de sua cultura. O Rei do Baião fez do forró o mais brasileiro de todos os ritmos.

As dificuldades vividas pelo povo nordestino, a simplicidade de vida e o orgulho pela sua terra são notórios nas letras, no ritmo, na dança, no chapéu de couro que são características únicas do pé-de-serra.

Nascido em Exu, interior de Pernambuco, Luiz Gonzaga era um homem simples, negro e matuto. Segundo ele, “um amarelo, bochudo, zambeta, cabeça de papagaio, feio pá peste”. Observando o pai animar bailes e consertar sanfonas, Gonzaga ganha intimidade com o instrumento que mudou sua vida ainda criança. No inicio, sua mãe Dona Santana não queria que o filho seguisse o caminho do pai, Seu Januário.

Quando jovem, em 1930, Gonzaga se alistou ao exército e ficou conhecido como “Bico de Aço” pela sua habilidade com a corneta. Em 1939, sai das forças armadas e vai para o Rio de Janeiro tentar a sorte como músico. Começou a cantar no “Mangue”, região do meretrício do Rio de Janeiro, como ele dizia. Tocou de tudo: choros, sambas, valsas, tangos e outros ritmos. Porém nenhum ritmo de sua região. Certa vez, foi questionado por um grupo de cearenses, por não tocar músicas nordestinas. Com o puxão de orelhas, as músicas de sua terra passaram a ser o carro-chefe de sua carreira.

“Dança da Mariquinha” foi a primeira música gravada como cantor, em 1945. Nessa data, já tinha sido contratado pela Rádio Nacional depois do sucesso alcançado ao vencer, em 1941, o concurso no famoso programa de Ary Barroso com a música “Vira e Mexe”.

Seu maior sucesso, sem dúvida alguma, foi e continua sendo “Asa Branca”. Uma espécie de hino do nordeste, a música foi composta em parceira com Humberto Teixeira e gravada em 1947. A primeira lição do abc nordestino é aprender a cantar “Asa Branca”. A letra fala do sertão, da seca e da esperança “da chuva cair de novo, pra mim voltar pro meu sertão”. Em parcerias com outros grandes compositores como Zé Dantas, Onildo Almeida e Zé Marcolino criou lindas canções que até hoje são obrigatórias nos repertórios das grandes festas juninas que animam o nordeste.

Luiz Gonzaga e a Política

No que se refere à política, Gonzaga foi muito conservador. Apesar de suas composições retratarem a vida difícil do povo nordestino, como nas músicas “Asa Branca”, “Vozes da Seca”, “Ai seu Generá” e “Andarilho”, tinha horror aos políticos denominados de esquerda. Em sua passagem pelo exército, passou admirar os generais e, em 1964, declarou apoio à ditadura.

Gonzaga sempre era convidado para tocar nos saraus presidenciais e chegou a afirmar que “não havia tortura no Brasil”. Mas, foi vítima da própria ditadura, que o proibiu de cantar nos shows as músicas “Vozes da Seca”, “Paulo Afonso” e “Asa Branca”.

Com o aumento das denúncias de tortura e mortes de vários ativistas, Gonzaga vai se desprendendo um pouco mais dos governantes e compõe com Humberto Teixeira “Salmo dos Aflitos”. No governo Geisel, em 1978, no seu disco “Dengo Maior”, a música foi incluída. Em 1980, gravou “Pra não dizer que falei das flores” de Geraldo Vandré.

Gonzagão e Gonzaguinha

Muitos se decepcionavam com a posição política de Luiz Gonzaga, incluindo seu filho Gonzaguinha. Durante anos, pai e filho tiveram um relacionamento difícil e distante. Somente, em 1981, os dois fizeram as pazes e proporcionam um grande momento histórico da música popular brasileira com a turnê “Vida de Viajante”, registrada no disco “Descanso em casa, moro no mundo”.

O Rei do Baião continua vivo

Em sua trajetória, Gonzaga dividiu o palco com grandes artistas como: Gal Costa, Sivuca, Elba Ramalho, Carmélia Alves, Marines, Nélson Gonçalves, Dominguinhos, Oswaldinho do Arcodeon, Genival Lacerda e Fagner.

Entre suas centenas de músicas gravadas, algumas são obrigatórias em qualquer coletânea do cantor: Baião, Xote das Meninas, Cintura Fina, Samarica Parteira, Qui nem Jiló, No meu Pé-de-Serra, Numa Sala de Reboco, Juazeiro, Assum Preto, Feira de Caruaru, Respeita Januário, Cheiro de Karolina, Olha pro Céu, Triste Partida, A volta da Asa Branca, Súplica Cearense, Paraíba, Aproveita Gente, Pagode Russo, Forró nº 1, Sanfoninha Choradeira, Nem se Despediu de Mim, Forró de Cabo a Rabo, ABC do Sertão, Riacho do Navio e Vozes da Seca.

Luiz Gonzaga continua vivo entre nós. Suas canções continuam animando festas juninas país afora. Não há festa de São João sem Gonzagão.

Os 20 anos da morte do “Rei do Baião” não silenciaram a sua sanfona.

fonte: site do pstu

Thursday, August 27, 2009

Da redação do Opinião Socialista -

• Um importante militante e reconhecido ativista anunciou, em Brasília, seu ingresso no PSTU. Rodrigo Dantas foi um dos fundadores do PSOL. Ele rompeu com este partido em 2007, durante os debates do 1º Congresso da organização. Nesta segunda-feira, 24 de agosto, ele se desfilia legalmente do PSOL, partido pelo qual foi candidato ao Senado pelo Distrito Federal nas eleições de 2006.

Dantas é doutor em filosofia pela Universidade Federal do Rio de Janeiro (UFRJ) e professor de filosofia política e filosofia marxista da Universidade Nacional de Brasília (UnB). Foi secretário-geral (2002-2004) e presidente (2004-2006) da Associação dos Docentes da UnB (ADUnB). Atualmente, é o segundo vice-presidente do Andes-SN, entidade que representa os professores do ensino superior no país. Milita na Conlutas desde sua formação.

Abaixo, publicamos a carta de Dantas de ingresso no PSTU.


Carta de desligamento do PSOL e de filiação ao PSTU

Nesta carta anuncio publicamente as razões políticas de meu desligamento do PSOL e de meu ingresso no PSTU.

Apesar de abrigar muitos valiosos militantes socialistas em seu interior, o PSOL configurou-se como um partido semelhante ao PT e aos partidos historicamente oriundos da social-democracia, o que pode ser percebido em sua estrutura organizativa, sua prática, seu discurso, sua política de alianças, seu programa e sua estratégia política:

a) o PSOL construiu uma estratégia que hierarquiza a intervenção do partido conferindo centralidade às eleições e ao parlamento burguês, como fez o PT ao longo de sua trajetória histórica, mas agora num momento de refluxo e ceticismo, em que as instituições do poder burguês estão apodrecidas e cada vez mais desmoralizadas aos olhos da população. É neste contexto que se insere o projeto de reedição da Frente Popular, a ser organizada em torno da candidatura de Heloísa Helena à presidência; o apoio das correntes majoritárias do PSOL ao chavismo e a seus aliados latino-americanos no campo do nacionalismo burguês, elevados à condição de referência “antiimperialista” no enfrentamento com o capital; as alianças com partidos e setores “progressistas” da burguesia e o acolhimento de candidatos oportunistas, estranhos à militância socialista, numa espécie de “vale tudo” para ampliar as possibilidades eleitorais do partido; o financiamento de seus candidatos pela burguesia, como no caso do apoio dado pela Gerdau à candidata do partido à prefeitura de Porto Alegre; e a adaptação rebaixada, despolitizante e oportunista do discurso, exclusivamente centrado na denúncia da corrupção e nos eixos de um programa essencialmente nacional-desenvolvimentista.

b) o PSOL se configurou como uma federação de correntes de esquerda dissidentes do PT e que trazem deste partido seus usos, práticas, costumes e sua própria estrutura organizativa, baseada na disputa fratricida entre as correntes, norteada pela lógica “aparatista” da luta intestina pela ocupação dos espaços institucionais de poder no partido, no movimento de massas e no parlamento. Em seu funcionamento, não há nem democracia nem o necessário centralismo na intervenção política na luta de classes: sob o pretexto da liberdade de suas tendências internas, o PSOL se constrói burocraticamente na negociação e no acordo entre as cúpulas das correntes burocraticamente centralizadas, reproduzindo práticas, relações e estruturas de poder características do PT e da sociedade burguesa.

Mas o PSOL não é e nem poderá ser uma reedição do PT. O PSOL é uma ruptura bastante minoritária do PT, sem base social ou sindical expressiva e sem capacidade de construir hegemonia de massas; um partido “super-estrutural”, construído artificialmente em torno de alguns parlamentares egressos do PT, eleitos num momento de refluxo.

A avaliação crítica que aqui faço reflete um debate que não é estranho ao PSOL. Ele já estava presente nas teses defendidas pela AS, pela SR, pelo então MTL-DI e pela ARS no Congresso de 2007, depois das intensas polêmicas travadas contra o giro à direita em 2006. Neste processo de luta política, da aproximação entre as correntes citadas surgiu um bloco de esquerda no PSOL como tentativa de reunir as correntes que tinham divergências políticas e programáticas com o bloco hegemônico no partido. Participei ativamente desta disputa interna até meados de 2007, alinhado com os companheiros da AS. Nosso debate não foi capaz de impedir o giro à direita do partido, resultado da consolidação do bloco hegemônico (MES-MTL-APS) na direção do PSOL. Compreendendo a impossibilidade de que o PSOL viesse a se constituir como uma alternativa socialista e revolucionária capaz de disputar com o PT e a CUT a hegemonia do movimento de massas, meu afastamento do partido se materializou em 2007, antes da realização do seu 1º Congresso.

A contradição política e programática entre as correntes de esquerda do PSOL (AS, ARS, MTL-DI e SR, e também CST e C-SOL) e seu bloco hegemônico (MES-MTL-APS), que se tornou cada vez mais evidente desde então, tende apenas a se aprofundar no próximo período. Enquanto uma parte minoritária do partido ainda luta por um programa socialista e pela construção de uma alternativa de organização para o movimento – a CONLUTAS – e de uma frente de esquerda classista, a maioria da direção renunciou ao socialismo em nome da reedição de uma estratégia política meramente eleitoral. Embora sejam bravos guerreiros os que lutam cotidianamente para colocar o PSOL no caminho das lutas e do socialismo, sabemos todos que esta é uma luta perdida. O bloco hegemônico sairá vitorioso novamente no congresso de 2009 e aprofundará o rumo reformista do PSOL.

Depois da experiência com o PT, a CUT e o governo Lula, evidenciados os limites da estratégia da frente popular e do governo de coalizão com a burguesia, tornou-se urgente a construção histórica de uma alternativa socialista e revolucionária para o Brasil. Em sua crescente destrutividade, o capitalismo é hoje um modo de vida e de produção que já não pode prosseguir por muito mais tempo sem ameaçar as próprias condições de existência da humanidade. A experiência histórica nos tem demonstrado que nos marcos do capitalismo não será possível preservar as bases naturais da vida, erradicar a pobreza, a miséria e a fome, socializar a riqueza socialmente produzida, democratizar o poder político e colocar o imenso desenvolvimento das forças produtivas a serviço da satisfação das necessidades humanas historicamente desenvolvidas e da criação de tempo livre para todos os indivíduos como verdadeira medida do valor e objetivo estratégico da sociedade. É neste contexto que o desafio histórico do socialismo deve ser mais uma vez recolocado na ordem do dia.

Desde 2004 militei na construção da CONLUTAS e tive assim a oportunidade de um contato mais próximo com o PSTU (Partido Socialista dos Trabalhadores Unificado). A defesa coerente da via da ruptura revolucionária, da independência de classe, de um partido democraticamente centralizado para enfrentar o capital, do internacionalismo, do marxismo como referencial teórico e político e da afirmação estratégica do socialismo como projeto para a humanidade foram decisivos para que amadurecesse minha decisão de me desfiliar do PSOL e me filiar ao PSTU. No processo de reorganização da classe trabalhadora, o PSTU é hoje a principal base de que dispomos para a construção de um grande partido de estratégia socialista, marxista, internacionalista e revolucionária. Nele há lugar para todos os militantes socialistas, sejam eles do PSOL, independentes ou de outras organizações, que lutam para construir uma alternativa socialista e revolucionária para o Brasil.

Rodrigo Dantas
Brasília, agosto de 2009

Wednesday, August 26, 2009

Adik kami membeli rumah baru kwalitas real estate di Bekasi tidak lama setelah kami berhasil mendapatkan kredit dari Leasing company sebesar hampir US$ 1 juta, untuk import Alat berat bongkar muat Container. Dalam hati terbesit rasa kagum bercampur tanda tanya besar, dari mana duitnya. Sedang pekerjaannya tidak menetap.Adik kami ini memang sejak lama sudah bekken sebagai wirasawasta 4 L  minus 1 yaitu Ligat, Lihai dan Licik, hanya kurang satu L (Tulus)

Istri kakak adiknya Ny. Sibarani

Cukup lama, tiga tahun kemudian tanda tanya itu baru terjawab yaitu ketika lawyer yang kami pakai ingin membawa masalah penipuan harga Alat berat import ini ke meja hijau. Dua pengacara kondang ibukota, Sdr.Mauliate Situmeang SH dan Yan Apul SH setelah mengancam Agen tunggal itu akan memperkaraka penipuan ini, mereka lalu membuka suara dengan berkata: "Keluarga pak Situmeang itu yang menipu Abangnya sendiri", katanya. Maksudnya, Sdr.Sibarani dan rekannya  yang minta komisi dimasukkan dalam harga barang.

Mr.Dieter Cremer, warga Jerman, agen resmi yang berkantor di Gedung Bendungan Hilir, Jakarta itu tidak gentar mendengar ancaman mereka. Demikian cerita pengacara tsb.
Barulah kami sadar kemudian bahwa komisi yang diperoleh relatif besar, cukup untuk membeli sebuah rumah mewah di daerah Bekasi.

Proses menuju meja hijau tetap dilakukan sambil mencari dokumen ke Kantor Lembaga Pemerintah dan Keduataan Finlandia di Jl.Kuningan Jakarta. Dari dokumen resmi yang berhasil kami kumpulkan, diketahui bahwa perusahaan kami, P.T.Monang Brothers Containers dan PT.Humpus, milik keluarga Cendana telah membayar harga paling mahal dibandingkan dengan beberapa perusahaan lain yang membeli  Alat berat dengan type, kapasitas yang sama buatan Finlandia, Jerman dan Italy, yang mendominasi pasaran Reach Stacker di Indonesia.

Dua law firm papan atas itu tidak bisa berbuat banyak, tidak mampu menyeret warga Jerman penipu itu ke meja hakim. Walau sudah jelas jelas kami membayar diatas harga rata rata, dan adanya unsur komisi dan mark up harga, kasus ini mentok juga. Alasan hukumnya adalah karena kami sudah tanda tangan Letter of Credit (L/C) dengan Bank Exim Cabang Kebayoran Baru, Jakarta. Status hukum L/C itu sama saja dengan kredit (pinjaman) lainnya, suatu perjanjian dua belah fihak yang sama kuatnya dengan Undang Undang.

Secara juridis, kami telah menyetujui dengan sukarela, tanpa paksaan untuk mengimpor 2 unit Reach Stacker -alat bongkar muat Container- senilai US.$ 986.000 dan Bank Exim telah menyanggupi untuk membayar setelah dokumen pengapalan (Bill of Lading) diserahkan oleh Exportir ke Banknya di Helsinki, Finlandia. Sampai disini, tidak ada cacat hukum yang terjadi, tidak ada celah pidana yang terbuka untuk dimasuki.

Sementara itu, saya juga menulis surat ke Dutabesar Finlandia di Jakarta, Dutabesar R.I di Helsinki melaporkan bahwa Agen SISU Finlandia di Indonesia melakukan perdagangan kotor dengan menjual Alat berat type yang sama dengan harga yang berbeda beda. Fihak Dutabesar Finlandia hanya bisa memanggil dan memperingatkan Agen di Indonesia dan agen di Singapura, tidak sampai punya wewenang untuk memasuki domain hukum.
Menurut saya Dutabesar R.I di Helsinki cukup membantu kami, memberi respons positive atas surat pengaduan saya. Mereka hanya bisa sampai ketingkat surat pemberitahuan kefihak fabrik SISU di Tampere, Finlandia. Fungsi Kedubes membela bisnis warga negaranya sudah dilaksanakan. Mereka pun tidak berwenang sampai masuk ke wilayah hukum.

Saya yang bekerja di dunia Perbankan, yang dikenal sebagai "Lembaga kepercayaan", tidak biasa mempermainkan nasabahnya. Bahkan nasabah diperlakukan sebagai raja, seperti saya pelajari sejak masih remaja di SMEP Negeri, bahwa "the costumers is king". Tidak tahu bahwa dalam real bisnis, penipuan itu bukan merupakan hal yang tabu. Kami yang lugu dengan mudahnya ditipu ratusan juta rupiah dengan praktek mark up harga.

Ketika terjadi krisis ekonomi upaya hukum pidana menuntut Agen ini kami hentikan dan beralih menuntut perdata mitra kerja kami di pelabuhan karena pemutusan kontrak sefihak dengan dalih krisis ekonomi. Ratu adil dengan tutup mata mengetok palu memenangkan kami di tingkat Pengadilan Tinggi hingga level Mahkamah Agung. Kamipun terlena menerima pembayaran ganti rugi sewa selama satu tahun sisa kontrak. Sementara itu kerugian karena penipuan Agen berat ini terlupakan.

Setelah saya review kembali, sebenarnya jika kita SMART, berupaya dengan tekun, pantang menyerah, teliti, kita kumpulkan data, dokumen dan informasi sebanyak banyaknya, maka kita mempunyai peluru untuk menembak. Sedang lawyer itu sifatnya hanya seperti senjata dan memerlukan amunisinya dari kita (penuntut).

Dengan segala upaya saya mendatangi perusahaan Surveyor, Dep.Perdagangan, Kedutaan Findland di Jakarta dan menyurati Kedutaan R.I di Helsinki dan juga menyurati Direktur fabrik SISU/exportir di Tampere, Finland. Semua materi tsb. memberikan informasi yang membua cakrawala baru bagi kita, yang bukan ahli hukum sekalipun.

Dari 5 perusahaan yang mengimport barang yang sama, dengan harga bervariasi antara US$ 380.000 - $.480.000 per unit. Dan harga yang paling mahal dibayar oleh PT.Humpus dan P.T.Monang, dengan pengertian bahwa di kedua perusahaan tsb para Staf/orang yang terlibat pengadaan Reach Stacker tsb melakukan korupsi, manipulasi meminta komisi, mark up harga barang.

Yang cukup menarik sebenarnya adalah mark up harga tsb sangat tinggi mencapai 27,5%. Rekayasa tsb sebenarnya sangat halus dengan menyembunyikannya dalam Pajak dan Bea Masuk. Artinya harga delivery barang adalah CIF (Cost, Insurance and Freight) franko pelabuhan Tanjungpriok, sudah termasuk Bea Masuk dan Pajak sebesar 27,5%. Akan tetapi, mengingat P.T.Monang mendapat pembebasan Pajak dan Bea Masuk, maka dana ini diambil oleh Agen untuk dibagi bagikan sebagai Komisi. Akibat lanjutannya sudah jelas Nilai kredit membengkak dan kami harus bekerja extra keras untuk membayar angsuran dan bunga Leasing yang lebih tinggi. Akibat akhirnya, kami kalah bersaing dalam tarif sewa dibandingkan dengan perusahaan pesaing lainnya.

Sepintas ada dua Undang Undang yang tekait dengan transaksi tsb yang dilanggar yaitu Undang Undang Pajak dan U.U.Korupsi. Sedang difihak lain Perjanjian Kredit berupa L/C Bank EXIM status hukumnya setara dengan Undang Undang. Hanya saya melihat ada secercah sinar diujung terowongan berupa "penipuan". Perjanjian tertulis dua belah fihak memang kekuatan hukumnya setara dengan U.U, tetapi sepanjang dilakukan dengan jujur. Jika ada unsur penipuan, maka gugurlah dia menjadi melawan hukum.

Tuesday, August 25, 2009

Em Uberaba/MG, por questões de saúde pública, leia-se epidemia da gripe A, foi adiada apresentação que meu amigo Edson Santana faria com seu Raul Cover, em homenagem a Raul Seixas, em 29 de agosto. Uma nova data está sendo estudada para o evento, provavelmente em outubro. Assim que houver uma definição aviso aqui.

Por ora, posto um texto, do Opinião Socialista, jornal que sempre tenho para vender, sobre o mago do Rock Raulzito!

Abraços,

Adriano Espíndola

Porque tem que tocar Raul

WILSON H. SILVA

da redação do Opinião Socialista e

membro da Secretaria Nacional de Negros e Negras dos PSTU

Há 20 anos, em 21 de agosto de 1989, o “maluco beleza” Raul Seixas embarcou em sua última viagem. Nascido em 1945, em Salvador, o cantor e compositor continua a impor sua marcante presença no cenário musical brasileiro. Também segue conquistando fãs entre milhões de jovens que sequer haviam nascido quando ele morreu vítima de uma parada cardíaca provocada pelo mau funcionamento de um pâncreas há muito castigado pelo álcool e uma razoável lista de outras substâncias.

Figura exemplar de uma geração que tentou traduzir em arte os tumultuados anos que vão do final dos 1960 a meados da década de 1980, Raulzito tornou-se o mito que é, até hoje, ao saber combinar, como poucos, letras poéticas, irreverência e criatividade com uma postura literalmente “anarquista” diante da vida. Tudo isso embalado em sonoridades que, mergulhadas no melhor do rock e do blues, sempre dialogaram com a cultura brasileira, seja a enraizada nas tradições nordestinas, seja aquela que brota dos meios urbanos.

É exatamente por isso que, em pleno século 21, é praticamente impossível que uma noitada num boteco com música ao vivo, uma festa ou um show que reúna gente “antenada com o mundo” possa acabar sem que alguém encha os pulmões para gritar: “Toca Raul”. A frase é a tradução espontânea dos mesmos desejos que alimentaram a alegria, a poesia e a beleza da obra de Raulzito.

Desobediência como caminho para a criatividade

Radical no melhor sentido da palavra, Raul Seixas era uma espécie de “menestrel” fora do tempo e do espaço. Comportando-se como uma daquelas figuras da Idade Média que recolhiam histórias das margens da “história oficial” e as transformavam em poesias cheias de ironia, sensualidade e visão crítica, o cantor repetia à exaustão que tudo o que criava era resultado de sua convicta postura de “desobediência” diante da lógica do mundo.

Nascido numa capital nordestina, criado ao som do rádio e dos sucessos de Luiz Gonzaga e mergulhado (através de seu pai ferroviário) no universo dos repentes e do cordel, Raul cresceu para se transformar em roqueiro e “imitador consciente” de Elvis Presley.

Figura “esquisita” na capital baiana – com seu cabelo banhado em “brilhantina”, jeans agarrado à pele e casacos de couro nada adequados ao sol de Salvador –, o “showman” Raul foi, durante a infância (e no decorrer da vida fora dos palcos), um sujeito tímido, dado mais à leitura (ele sonhava em ser escritor) do que às brincadeiras de rua e baladas.

Ainda bastante jovem, juntou-se com amigos numa série de bandas que tiveram vida curta, mas foram marcantes para sua formação, como “Os Relâmpagos do Rock” e “Raulzito e os Panteras”, formadas ainda na década de 1960, e que o aproximaram da turma “bem comportada” da Jovem Guarda, com “roquinhos” um tanto insossos como “Doce, doce, doce amor”. Nessa época, foi para o Rio de Janeiro.

A figura de Raul, no entanto, dificilmente poderia encontrar seu lugar em meio a artistas como Jerry Adriani, Roberto Carlos e os demais representantes da Jovem Guarda. Raulzito também não poderia ficar imune à onda psicodélica e rebelde que varria o mundo nos arredores de 1968.

Com sua típica “desobediência”, o cantor, literalmente, tomou de assalto o estúdio da empresa fonográfica que o estava contratando para gravar seu segundo LP, “Sociedade da Grã-Ordem Kavernista Apresenta Sessão das 10”, cujos títulos e sonoridades antecipam seus maiores sucessos dos anos 1970.

Apesar de a distribuição do disco ter sido censurada pela empresa, Raul chegou ao grande público com seu estilo em 1972, quando participou do 7° Festival Internacional da Canção, promovido pela Globo, com duas músicas que marcaram época: a deliciosa mistura de rock e baião “Let me sing” e a enlouquecida “Eu sou eu Nicuri é o Diabo”.

Metamorfose ambulante

Sempre atento ao mundo ao seu redor, Raul emplacou, no ano seguinte, um de seus maiores e mais fantásticos sucessos, “Ouro de tolo”, uma letra em que aspectos autobiográficos misturam-se com a mais debochada crítica à ditadura, seu “milagre” econômico e à censura.

Foi nesse mesmo ano que saiu o disco “Krig-Ha, Bandolo”, com uma excepcional concentração de músicas inesquecíveis, como “Metamorfose ambulante”, “Mosca na sopa”, a própria “Ouro de tolo” e “Al Capone”. Todas elas transformadas em verdadeiros hinos de uma juventude que queria gritar por liberdade.

Diversas em ritmos e temas, todas as músicas, no entanto, têm uma coisa em comum, típica da obra de Raulzito: a ideia de “refazer-se”, “reinventar-se” a cada momento, fugir das regras estabelecidas, questionar tudo e todos. À beira muitas vezes de um misticismo meio alucinado (que o aproximou da hoje inglória figura de Paulo Coelho) – praticado por alguém que sempre dizia que “não existe Deus, senão no homem” – e com uma riqueza poética poucas vezes encontrada na música brasileira, as músicas ainda tinham a capacidade de conquistar os públicos mais diversos.

Um sonho sonhado junto é realidade

Vivendo numa sociedade repressiva e “careta”, que o levou muitas vezes a embates com o sistema (como na sua primeira prisão, em 1974, pelo Dops, e o breve exílio nos EUA), podemos dizer que a grande contribuição de Raul para a juventude da época foi exatamente a possibilidade de “sonhar” um outro mundo.

Um sonho um tanto lisérgico, psicodélico e anarquista, mas um sonho que, como o próprio cantor dizia, deveria e merecia ser sonhado, pois, nas suas palavras: “Somente o sonho sonhado sozinho é um sonho; um sonho sonhado junto é realidade”.

Sonho traduzido em canções posteriores como “Sociedade alternativa” e a memorável “Gita” que, quando lançada, praticamente impôs a figura de Raul ao mercado ao vender nada menos do que 600 mil cópias.

Homem de muitos e destrambelhados amores, sujeito que nunca teve medo de “tentar outra vez” e dono de uma cultura digna de quem “nasceu há dez mil anos atrás”, Raul Seixas partiu deixando uma obra que, pela sua multiplicidade, é capaz de embalar os mais diversos momentos da vida de seus fãs.

Fruto de sua época, também não foi “santo”, muito menos inquestionável. Afinal, em meio a preciosidades como “O dia em que a Terra parou” e “Aluga-se” (transformada em hino contra o FMI e o pagamento da dívida externa), Raulzito também deixou umas tantas bobagens, como por exemplo, o “intragável” e homofóbico “Rock das Aranhas”.

Derrapadas à parte, o que ficou de sua obra depois de três décadas de sua ausência é a figura do “mago” irreverente, do “maluco beleza” que, sem dúvida, sempre que toca deixa nossa vida mais legal.

Fonte: Jornal Opinião Socialista, site do PSTU

Sunday, August 23, 2009


Jeferson Choma
da redação do Opinião Socialista


No último 20 de agosto, completaram-se 69 anos do atentado que tiraria a vida de Leon Trotsky por um agente do stalinismo. O assassinato não foi algo inesperado. Era parte de um esforço em eliminar qualquer ligação entre os dirigentes da Revolução de Outubro e as gerações mais jovens

Leon Trotsky lia atentamente um texto entregue a ele por seu assassino. De repente, um golpe violento na cabeça dado pelas costas com uma picareta de alpinista o jogou ao chão. Mesmo ferido mortalmente, ele se agarrou ao assassino enquanto seus guarda-costas chegavam. Gritou para que não o matassem, para que se descobrisse o mandante do crime

Era o dia 20 de agosto de 1940. Trotsky foi levado ao hospital ainda lúcido. Em suas últimas palavras, deixou a mensagem de otimismo a seus camaradas em todo o mundo: “Estou próximo da morte, devido ao golpe de assassino político... Por favor, digam aos nossos amigos... Estou certo... da vitória da IV Internacional... continuem”.

Antes de entrar na sala de cirurgia, se despediu carinhosamente de Natasha, sua companheira de muitos anos. Entrou em coma logo depois e morreu no dia seguinte.

O assassino
Ramon Mercader, o nome verdadeiro do assassino, era um agente da GPU, serviço de segurança russo antecessor da KGB. Foi um crime longamente planejado pelo stalinismo. Mercader viajou para a URSS em 1937, lá permanecendo por seis meses. Depois, no México, conseguiu se aproximar pessoalmente de uma secretária de Trotsky, Silvia Ageloff.

A partir daí, se apresentou ao velho revolucionário como um simpatizante de suas idéias. No dia do assassinato, entregou um texto a Trotsky para que ele opinasse. Aproveitando-se de sua distração, assassinou-o pelas costas.

Depois de sair da prisão, em 1961, Mercader foi para URSS, onde foi condecorado com a medalha de “Herói da União Soviética”.

Stalin tenta cortar o fio de continuidade do marxismoO assassinato de Trotsky não foi algo inesperado. Era parte de uma política consciente do stalinismo de eliminar qualquer ligação entre os velhos dirigentes da Revolução Russa de 1917 com as gerações mais jovens. Era a tentativa de cortar o fio de continuidade do marxismo revolucionário num momento em que se preparava, novamente, uma guerra mundial, com suas conseqüências revolucionárias. Existia a possibilidade de se construir uma alternativa de direção revolucionária ao redor do velho bolchevique russo.

Trotsky pertenceu a uma geração de revolucionários sem precedentes na história. Uma geração que deu respostas teóricas e políticas desde questões relacionadas à organização do partido revolucionário até a construção do poder de Estado pela classe operária.
Ele não foi apenas um dos principais dirigentes da Revolução Russa ou o organizador do Exército Vermelho, como é costumeiramente lembrado. Foi o primeiro a identificar o perigo da crescente burocratização do partido e do Estado operário soviético, que ameaçava as conquistas da Revolução de Outubro.

Dedicou sua vida, a partir da morte de Lenin, a uma luta prática e teórica para libertar o movimento operário internacional da dominação stalinista. Lançou-se numa batalha sem tréguas contra a burocratização e em oposição à desastrosa política da burocracia dirigida por Stalin.

Logo após a ascensão do stalinismo, o revolucionário russo organizou a Oposição de Esquerda e se opôs radicalmente à teoria do “socialismo num só país” defendida por Stalin. Trotsky sustentava que era impossível construir o socialismo limitado às fronteiras nacionais de um país economicamente atrasado como a Rússia. Como Lenin, acreditava que a Revolução Russa era só o princípio da revolução socialista mundial.

Trotsky dedicou os últimos anos de sua vida a construir uma alternativa à desastrosa política dos partidos comunistas, intervindo nos processos revolucionários. Realizou o que em sua própria opinião era “o trabalho mais importante” de sua vida: a construção da IV Internacional.

A perseguição implacável do stalinismo
Em 1927, Trotsky foi expulso do partido, destituído de suas funções no Estado Soviético e, no início de 1928, deportado para o Cazaquistão. No ano seguinte, Trotsky foi banido da URSS e sua condição de cidadão soviético foi cassada.

Trotsky era um homem sem nacionalidade ou cidadania. Começava, assim, uma longa jornada de exílios e expulsões que iniciou na Turquia, passou pela Noruega e pela França, até chegar, finalmente, ao México, em 1937, único país que aceitou o exílio do revolucionário russo.

Quatro anos antes do assassinato, tiveram início os famosos Processos de Moscou contra dirigentes bolcheviques. Neles, foram fuzilados velhos colaboradores de Lenin, como Zinoviev, Kamenev, Bukharin, Antonov-Ovseenko, entre outros. Durante os processos, o próprio Trotsky foi condenado à morte por ser considerado um suposto “agente sabotador do imperialismo”. Nesse período, milhares de ativistas da Oposição de Esquerda já haviam sido atacados, assassinados, presos ou deportados.

A campanha de terror tinha o objetivo de suprimir toda oposição genuinamente socialista contra a usurpação do poder feita pelo stalinismo. O alvo maior do stalinismo era atacar os que estavam junto com Trotsky. Em fevereiro de 1937, Leon Sedov, filho de Trotsky, foi morto em Paris. Às vésperas da fundação da IV, Rudolf Klement, secretário de organização da nova Internacional, foi assassinado, e o projeto de estatutos foi roubado.

Em 24 de maio de 1940, se deu a primeira tentativa de assassinato de Trotsky. Um bando de assassinos stalinistas, liderados pelo pintor David Siqueiros disparou rajadas de balas contra a casa do revolucionário que escapou do atentado.
Na segunda tentativa, conseguiram seu objetivo. Stalin havia, finalmente, liquidado o último dos grandes dirigentes bolcheviques da Revolução de Outubro.

O stalinismo foi julgado pela história
O stalinismo procurava desarticular a recém-fundada IV Internacional. Possui um grande significado o fato de Stalin, que naquele momento dirigia um Estado operário e tinha influência em partidos de massas de todo o mundo, ter de recorrer a um assassinato pelas costas de um velho de 61 anos.

Hoje, o aparato stalinista desabou. Mesmo o que resta dos partidos stalinistas rejeita a vinculação com Stalin. Por outro lado, a IV Internacional sobreviveu e está sendo reconstruída. Obviamente, o assassinato do principal dirigente da Internacional foi uma perda colossal.

Mesmo assim, o stalinismo não conseguiu suprimir o legado teórico e político do revolucionário russo. Suas obras constituem uma extraordinária contribuição para a teoria marxista. Um legado para as novas gerações de revolucionários que mantêm viva a sua luta em defesa do socialismo e da IV Internacional.

Saturday, August 22, 2009

Gustavo Sixel,
da redação do Jornal Opinião Socialista.

O tabuleiro das eleições de 2010 se alterou drasticamente, com o convite do Partido Verde (PV) à ex-ministra Marina Silva para disputar a Presidência da República. O PT e o governo reagiram rapidamente. Senadores petistas tentaram fazer com que ela permanecesse no partido, sem sucesso. Em pouco tempo, todos já davam como certa sua candidatura a presidente. A novidade altera a eleição, polarizada entre José Serra (PSDB), pela oposição de direita, e Dilma Rousseff, como herdeira de Lula.
Com uma trajetória de esquerda e defendendo a causa ambiental, Marina pode ocupar um espaço decisivo. O PV estima obter ao menos 10% dos votos, grande parte no eleitorado de esquerda. Entre os que se desapontaram com Lula e os que apoiam o governo. Assim, a candidatura é um obstáculo para Dilma e um presente para a oposição de direita.

Para a ex-ministra do Meio Ambiente, a tese de interferência do PSDB é teoria da conspiração. O certo é que sua entrada contribui para garantir ao tucano um segundo turno. O PSDB agradece. Aécio Neves afirmou à imprensa que não descarta uma aliança com Marina: “se não for possível no primeiro turno, como nós gostaríamos, com certeza, no segundo”.

Ensaio geral
Há antecedentes na manobra tucana. Nas eleições municipais no Rio e em São Paulo, candidaturas alternativas foram impulsionadas diretamente pelo PSDB. Em comum, posições ou trajetórias de esquerda, um perfil ético e independente, desvinculado de políticos tradicionais. Ocuparam espaço entre setores desiludidos com a política. Pela internet, conquistaram segmentos da juventude que provavelmente ignorariam a eleição.

Em São Paulo, a vereadora Soninha Francine deixou o PT e se lançou pelo PPS. Com posições avançadas sobre drogas e aborto, retirou votos de Marta Suplicy (PT), derrotada por Gilberto Kassab (DEM). Admiradora de Serra, Soninha obteve 4% dos votos válidos.

Mas foi no Rio onde a fórmula tucana teve mais sucesso. Fernando Gabeira (PV) polarizou a cidade. Nem mesmo a coalizão com o PPS e o PSDB e o apoio do DEM no segundo turno impediram que fosse visto como representante da “esquerda”. Por muito pouco não derrotou Eduardo Paes (PMDB), apoiado por Lula.

A trajetória de Gabeira confunde. Ex-guerrilheiro, fundador do PV, ex-petista, famoso por ousadias de comportamento e política, cultiva uma imagem de independência, que se encaixa como luva na estratégia tucana. É como se flutuasse acima das estruturas dos partidos, sem se submeter aos caciques ou aos que financiam as candidaturas. Ilusão. Candidato ao governo do Rio, estará com Serra, mesmo com Marina candidata pelo PV. É o preço do apoio tucano. Em São Paulo, Soninha integra a coalizão DEM-PSDB em uma subprefeitura.

Ilusões
Esse fenômeno é ainda maior com Marina, dona de uma trajetória de luta na floresta, ainda com Chico Mendes. É tida como honesta, íntegra. É mulher e disputa a Presidência, universo de ampla maioria masculina.

Possui ainda história de vida semelhante à de Lula: filha de retirantes, nascida no seringal no Acre, de infância pobre. Também de sobrenome “Silva”, como Lula gosta de realçar.

É provável que muitos trabalhadores olhem com expectativa para a ex-ministra. Que se agarrem a sua biografia, ignorando o restante.

Limites
Há enormes contradições, a começar pelo PV. O partido usa a defesa do meio ambiente para apresentar-se acima das classes, imune aos podres poderes da espécie humana. Todo partido está a serviço de uma das classes sociais. O PV está longe de ser um partido operário, de trabalhadores.

É um partido burguês, que em cada estado serve a outro partido maior, como se fosse uma legenda de aluguel. E tem em sua direção Zequinha Sarney, filho do presidente do Senado, uma ligação direta com o mais repudiado político brasileiro. Na Bahia, está com o PT. É aliado ao DEM, com Kassab, e ao PSDB, nos governos de Serra e Aécio.

Lideranças do PV, como Alfredo Sirkis, ex-secretário de Cesar Maia, já falam em alianças para aumentar o tempo de TV. O nome para vice é o de Cristovam Buarque, do PDT, outro partido dos patrões e da Força Sindical.

Marina ministra
A imagem de Marina ao deixar o governo foi de alguém coerente, que não aceitou acordos com os que destroem a natureza. Mas não foi isso. Ela foi ministra durante as maiores agressões ao meio ambiente. O Brasil liberou os transgênicos e aprovou a transposição do rio São Francisco, o que nenhum governo de direita tinha conseguido. Permitiu usinas no rio Madeira. O desmatamento na Amazônia foi recorde, com ampliação da soja e do gado. As florestas foram privatizadas. Esses ataques à ecologia foram justificados e legitimados sob a tese do governo em disputa.

Não havia disputa. Ao permanecer como ministra, desde 2002, Marina prestou um papel lamentável – emprestou sua biografia, seu prestígio internacional a um governo que sempre esteve ao lado do agronegócio.

Seu balanço foi o de ter participado de ataques históricos ao meio ambiente e de um governo que destruiu a Amazônia como poucos. Ao ter permanecido tanto tempo, tornou-se cúmplice.

Utopia
A atuação de Marina como ministra foi consequência de uma tese, a do desenvolvimento sustentável. Supõe um modelo em que as empresas respeitem os limites da natureza. Significa, na prática, limitar os lucros. Essa tese foi o carro-chefe de Lula. Eleito, prevaleceram os interesses das empresas.

A natureza do capitalismo, do lucro, se acentua na crise econômica. Da mesma forma que as empresas aumentaram a exploração para manter a taxa de lucro, também aceleram a destruição da natureza.

Há outras razões que tornam ainda mais utópica essa defesa – a forte presença das multinacionais e a dependência da economia brasileira. Essa é também a causa da pressa nas licenças das obras do PAC.

A defesa do mesmo programa do PT e do governo Lula, apostando na boa fé capitalista, levará a derrotas. Insistir nessa tese é enganar os trabalhadores. Os que falavam em ética hoje defendem Sarney como mal menor. Os que erguiam bandeiras ecológicas são os pragmáticos de hoje.

As empresas se apropriam da ecologia como marketing. A saída para a crise ambiental está nas mãos dos trabalhadores, com um programa socialista, contra empresas e governos. Sem um programa assim, o resto é utopia reacionária.

Por uma verdadeira alternativa em 2010
Neste momento em que velhas ideias são recicladas e oferecidas como novidades aos trabalhadores, é preciso reafirmar o chamado a unir os trabalhadores e os socialistas na eleição de 2010. Uma frente classista e socialista, com PSOL, PSTU e PCB. Não nos enganemos: a manobra da candidatura do PV também disputará os votos da frente, caso esta não apresente um programa e um perfil claro de esquerda e opte por trilhar apenas o caminho ético.

A entrada de Marina reforça a necessidade de ter nossos principais nomes na disputa. Seria um erro não apresentar, nesta conjuntura, a candidatura de Heloísa Helena, com uma trajetória militante e um legado da eleição de 2006. É preciso uma candidatura que reúna os principais nomes como Heloísa e Zé Maria, sem alianças com partidos burgueses e financiamento das empresas, para combater o governo Lula, a oposição de direita e as ilusões em candidaturas como a de Marina.

Fonte:
site do PSTU

TCU publica condenação dos envolvidos no caso Ceneg
Publicado em 21/08/2009 às 12:15

fonte: MGTV Rede Integração

Ex-diretor do Centro Nacional da Cidadania Negra em Uberaba terá que devolver mais de R$1 milhão aos cofres públicos

O Tribunal de Contas da União (TCU) publicou a condenação dos envolvidos no caso do Centro Nacional da Cidadania Negra (Ceneg), em Uberaba. O MGTV já mostrou a situação do prédio do Centro dedicado a cursos de formação para a comunidade negra.

Nessa quinta-feira (20), o ministro relator do processo, José Jorge, determinou que o ex-diretor da entidade, Gilberto Caixeta, devolva mais de R$1 milhão aos cofres públicos. O recurso faz parte de um convênio assinado com o Ministério da Cultura para a implantação de projetos de formação e qualificação da comunidade negra.

O prédio do Ceneg está abandonado: móveis e papéis espalhados por todos os lados. No laboratório de informática, computadores destruídos. Nos auditórios, restos de alimentos. Por causa do abandono o local é alvo de vândalos. Além de devolver os recursos, Gilberto Caixeta vai pagar uma multa de R$8 mil.

A decisão do Tribunal é do dia 11 de agosto, mas só agora foi publicada. Procurado pela produção do MGTV, o ex-diretor do Ceneg informou que já entrou com recurso contra a decisão do TCU e que não vai se pronunciar sobre o assunto. Ele ainda responde a processo no Ministério Público Federal pela mesma acusação.

Friday, August 21, 2009

Honduras resiste – 4º e 5º dias

Honduras Resiste – 49/50 – 4/5*
50 dias de resistência contra o golpe e cinco dias de minha estadia
15 e 16 de agosto de 2009

O final de semana continuou com atividades e conversas. No sábado, um concerto na praça perto do aeroporto, onde foi assassinado o jovem estudante de 19 anos, Isis Obed Murillo Mencía, no dia 5 de julho. Compareceram cerca de mil pessoas com toda a emoção do local onde ocorreu a maior manifestação contra o golpe, o sábado seguinte ao dia 28 de junho, quando Zelaya anunciou que voltaria ao país, e a Frente Nacional Contra o Golpe de Estado convocou a população para recebê-lo.

A avaliação é de que, na ocasião, cerca de 300 mil a 400 mil pessoas vieram de todo o país em caravanas, carros, marchas e que conseguiram chegar à capital e se dirigir ao aeroporto somente um terço. O restante foi bloqueado pelos caminhos. Para a dimensão do Brasil, seria como se um milhão de pessoas se deslocassem para uma manifestação.

Os golpistas anunciaram que não permitiriam o pouso do avião. Os trabalhadores e trabalhadoras se moveram para fazer com que o presidente deposto pudesse voltar.

Em várias conversas, se passa a impressão de que a ditadura quase caiu naquele momento. Os golpistas tinham acabado de se instalar, ainda não haviam definido todos os ministros, setores das Forças Armadas balançavam.

A marcha multitudinária se impôs rompendo três barreiras militares armadas pelos golpistas. O clima era de tensão conforme a marcha avançava, e as barreiras se abriam. Militares informavam pelos rádios que não podiam disparar, porque era o povo hondurenho que marchava.

Somente a última barreira, na cabeceira do aeroporto, onde era possível entrar pelas cercas até a pista, respondeu ao comando e atirou na multidão. Ficaram vários feridos e o estudante, homenageado pelo concerto do sábado, assassinado. Durante a correria, o avião que trazia Zelaya arremete e não pousa. A divisão que se expressou nas bases e em setores da hierarquia das Forças Armadas fica de lado e os milhares se sentem frustrados porque o avião não desceu. Mais uma vez, o centro das expectativas olhando para o que pode chegar e não para o enfrentamento que gerou paralisia nas bases de setores importantes do exército. Isso nunca funcionou para as lutas dos trabalhadores.

Heroico povo, que apesar da frustração continua marchando e se mobilizando.

No domingo, houve uma assembleia geral da Frente para discutir a continuidade. Como um dos primeiros convidados a falar, ofereço como um gesto de solidariedade a bandeira da Conlutas para que esteja em todos os momentos de luta da Frente. A bandeira permanece na mesa durante toda a assembleia. Mais uma vez, as manifestações de carinho e solidariedade de classe. Os abraços, os apertos de mão de ativistas que expressam sua busca na solidariedade internacional de classe um ponto de apoio.

Trata-se de um golpe de classe, apesar das contradições do imperialismo. Os golpistas, como dizem os hondurenhos, são as dez famílias, forma como identificam os principais grupos burgueses que dominam, como sócios menores das multinacionais, os principais negócios do país: bancos, imprensa, café, maquiladoras (principalmente têxteis), banana, madeira, redes de supermercados,fast foods etc.

As decisões centrais da continuidade: ampliar a organização da Frente buscando constituir coordenações regionais da Frente Contra o Golpe. Centrar nos próximos dias, depois da semana em que o centro foi a marcha que chegou a Tegucigalpa no dia 11 e permaneceu, em retomar o debate e a organização nas bases dos movimentos. Ter como eixo de atividades, na próxima semana, a questão dos direitos humanos, aproveitando a visita da Comissão de Direitos Humanos da OEA que visitará o país. A principal bandeira é a libertação dos 11 jovens que continuam detidos e a suspensão dos vários processos em curso.

No domingo, dia 23, haverá um ato show, “Vozes Contra o Golpe”, com a presença de artistas já confirmados da Nicarágua, Venezuela, Guatemala, Costa Rica e Argentina.

Depois da assembleia, junto com advogados de organizações de direitos humanos, jornalistas e parlamentares, fomos visitar os 11 jovens que continuam presos na Penitenciária Nacional, a cerca de 40 minutos da cidade. Todos acusados de vandalismo, atentados terroristas, crime contra propriedade. Estão num presídio comum, onde a visita teve que de feita sem celulares ou máquinas fotográficas. Jovens, na sua maioria subempregados, que foram presos, como disse um deles, “porque somos pobres”. O caráter de classe do golpe aparece por todo lado.

DIRCEU TRAVESSO, DA SECRETARIA EXECUTIVA DA CONLUTAS, DIRETO DE HONDURAS
FONTE: www.pstu.org.br

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

FREE HOT VIDEO | HOT GIRL GALERRY