|
---|
Monday, August 31, 2009
SERÃO UM DIA PRESOS? - CONDENAÇÃO DOS ASSASSINOS PANTOJA E JOSÉ MARIA É MANTIDA
0 comments Posted by barongan at 3:42 PMHistórico de um massacre
Sunday, August 30, 2009
Labels: LEARNING
Friday, August 28, 2009
Setelah dijelaskan kejadiannya secara rinci, tanpa mandi saya dan isteri langsung tancap gas Kijang warna merah, menuju Unit Terminal Petikemas I (UTPK.I), Pelabuhan Tanjungpriok, Jakarta Utara. Wilayah Tanjungpriok memang bukan lokasi penangkaran buaya, tetapi lingkungan itu dikenal sangar sejak zaman Balanda dahulu.
Dengan hanya mengangkat tangan kami lewati gerbang ke restricted area khusus itu. Setelah menyaksikan Container yang jungkir balik dan Alat Stacker berlengan panjang itu, kami diminta menuju Gedung Pelindo II, kantor Penguasa Pelabuhan itu.Dalam udara dingin pagi itu terasa panas hati dan kepala memikirkan risiko yang akan dibebankan ke pundak kami. Disana sudah menunggu pengawas operasi in duty dengan bicara serius dengan menjelaskan tanggung jawab kami, yang dinyatakan bersalah mengoperasikan alat. Tangan keringat dingin memegang pulpen untuk menandatangani Berita Acara.
Dengan kasus kecelakaan tsb. maka perusahaan akan menanggung biaya kerusakan 9 (sembilan) unit Container yang rusak dan urung masuk kapal untuk tujuan export ke Hong Kong. Kedua unit Reach Stacker milik kami terpaksa beroperasi walau tepat di Hari raya Idulfitri dengan operator pengganti, karena operator asli sedang cuti mudik ke Jawa Barat. Sdr.Frisco, operator sementara yang belum berpengalaman dari ruang kemudi mengendalikan lengan panjang Stacker ingin mengambil satu unit Container dari tier (tingkat) 5, tetapi satu dari empat lock yang ada diempat pojok Container tidak tepat masuknya, belum locked....dan braaakkk... Container jatuh dari ketinggian Tier 5 menimpa Container ditumpukan ke empat, menimpa Container di tingkat tiga hingga jatuh merobek Container paling bawah.
Sembilan Container yang urung ekspor itu, rusak (ringan sampai berat) dan nampak berisi tekstil yang akan dimuat ke kapal Lexior yang lego jangkar di dermaga UTPK I. Setelah surveyor resmi turun ke lapangan, menilai kerusakan Container dan isinya, maka ditetapkanlah kerugian sebesar US.$.45.000,- (setara dengan Rp. 450 juta). Jika dibandingkan dengan penghasilan kotor 2 unit Stacker per bulan hanya Rp. 100 juta, maka kami harus kerja rodi selama 5 bulan untuk bisa mendapatkan uang sebesar itu. Masih beruntung tidak di black list, dilarang beroperasi di Pelabuhan Tanjungpriok. Belum lagi harus angsur kredit Leasing Rp. 75 juta per bulan,ditambah biaya operasional dan biaya pegawai.Ada perasaan kecewa meninggalkan ruang kerja ber AC,leher diikat dasi sepanjang hari, sekarang pakai jeans dan sepatu kets dan harus
berfikir ekstra keras menyelesaikan kecelakaan ini.
Oleh sebab itu, hidup harus SMART jangan stres dan mengambil keputusan sedang emosi tinggi, memecat operator atau menuntutnya ke Pengadilan. Tidak ada nilai tambahnya.
Bekerja didaerah keras Tanjungpriok, yang banyak buaya daratnya, wajib hati hati jangan sampai dilibas ekornya dan dimangsa.
Karena sedang bingung, kamipun menyambangi Kantor pengacara Habonaran Situmeang SH, dibilangan Jatinegara, Jakarta Timur. Dulu, ketika Kantor law firm ini dibuka secara resmi, saya yang berstatus sebagai Ompung (Kakek), didaulat untuk membuka selubung papan nama Kantor pengacara ini.
Setelah kami ceritakan secara runtut kasus kecelakaan hingga tuntutan ganti rugi dari sebuah fabrik joint venture Korea di Tangerang, Bonaran SH tiba tiba berkata :"Ompung , perusahaan itu client saya", katanya dengan ketawa ceria. Karena prihatin melihat wajah kami yang tertekuk sejak datang, tanpa kami minta dia melanjutkan :" Besok saya kesana Ompung", katanya dengan PD. Muka yang tadinya tertekuk itu mulai senyum kecut, harap harap cemas. Benar saja, besok sorenya, setelah menemui pemilik fabrik, Bonaran menelpon dan berkata :"Ompung, mereka tidak nuntut ganti rugi ke Pelayaran", katanya.
Difihak lain, perusahaan pelayaran itu, PT.Tresna Muda mengirim surat claim ganti rugi kepada kami melalui PT.Pelindo II, BUMN pengelola pelabuhan itu. Ini mah benar benar Buaya darat yang mau menerkam siapa saja yang lengah dan dungu. Pemilik barang sendiri sudah mendapat ganti rugi dari Asuransi, sedang perusahaan Pelayaran masih menuntut lagi pembayaran ganti rugi dari kami.
Dengan tenang dan teliti, seperti kebiasaan saya sebagai Bankir senior, bekerja di Bank BRI 2 dekade, saya membaca semua dokumen claim sampai rinci. Ditengah tebalnya dokumen itu, saya memukan nama sebuah Asuransi. Tangan saya gatal saja langsung menelpon seseorang dengan berkata :"Pak apa betul Asuransi ini yang mencover ekspor barang untuk kapal Lexios", kata saya dengan sangat sopan, mengingat pepatah jika meminta tangan harus dibawah. "Betul pak, kami sudah membayar claim pemilik barang", suara seseorang diujung telpon, yang belum pernah kami kenal. Zaman gini masih ada orang yang suka menolong orang yang kesulitan, walau tidak kenal ? Alhamdulillah, Praise the Lord.
Setelah nomor seri Container kami bacakan satu persatu untuk memastikan akurasi Container yang urung berangkat, maka sebelum mengakhiri pembicaraan, saya berkata:"Pak boleh kami minta tolong bukti transfer pembayaran claim di fax", pinta saya dengan harap harap cemas. Diluar dugaan, tanpa menunggu, langsung dijawab:"Oh Boleh pak", katanya setelah mencatat nomor fax kami. Hanya lima menit mesin fax berdering dan mengeluarkan selembar copy transfer Bank .
Hasil ketelitian dan lebih mengandalkan logika ketimbang emosi, hasilnya diluar perkiraan. Langsung saya berteriak:"Mami...mami", kata saya memanggil isteri saya di lantai dua. Dia masih berjalan ditangga mau turun, saya menambahkan :"Ini fax bukti ganti rugi asuransi", kata saya mengibarkan fax yang masih hangat, dengan senyum lebar. Langsung saya membuat draft surat balasan kepada PT.Pelindo II dan Pelayaran dengan lampiran copy transfer Bank, yang isinya, keberatan membayar tuntutan ganti rugi.
Pada akhirnya, kami hanya membayar Rp. 5 juta untuk mengganti 1 unit Container yang sobek menganga lebar. Itupun, kalau mau boleh membawa pulang.
Hasil ketelitian, lebih mengandalkan logika daripada emosi, tenang, hasilnya diluar dugaan, terhindar dari terkaman Buaya darat.
Labels: LEARNING
ROBERTO AGUIAR, de Aracaju-SE, para o Site do PSTU
No dia 2 de agosto de 1989, morreu um dos maiores ícones da música brasileira, Luiz Gonzaga, o “Rei do Baião”
No que se refere à política, Gonzaga foi muito conservador. Apesar de suas composições retratarem a vida difícil do povo nordestino, como nas músicas “Asa Branca”, “Vozes da Seca”, “Ai seu Generá” e “Andarilho”, tinha horror aos políticos denominados de esquerda. Em sua passagem pelo exército, passou admirar os generais e, em 1964, declarou apoio à ditadura.
Muitos se decepcionavam com a posição política de Luiz Gonzaga, incluindo seu filho Gonzaguinha. Durante anos, pai e filho tiveram um relacionamento difícil e distante. Somente, em 1981, os dois fizeram as pazes e proporcionam um grande momento histórico da música popular brasileira com a turnê “Vida de Viajante”, registrada no disco “Descanso em casa, moro no mundo”.
Em sua trajetória, Gonzaga dividiu o palco com grandes artistas como: Gal Costa, Sivuca, Elba Ramalho, Carmélia Alves, Marines, Nélson Gonçalves, Dominguinhos, Oswaldinho do Arcodeon, Genival Lacerda e Fagner.
Entre suas centenas de músicas gravadas, algumas são obrigatórias em qualquer coletânea do cantor: Baião, Xote das Meninas, Cintura Fina, Samarica Parteira, Qui nem Jiló, No meu Pé-de-Serra, Numa Sala de Reboco, Juazeiro, Assum Preto, Feira de Caruaru, Respeita Januário, Cheiro de Karolina, Olha pro Céu, Triste Partida, A volta da Asa Branca, Súplica Cearense, Paraíba, Aproveita Gente, Pagode Russo, Forró nº 1, Sanfoninha Choradeira, Nem se Despediu de Mim, Forró de Cabo a Rabo, ABC do Sertão, Riacho do Navio e Vozes da Seca.
fonte: site do pstu
Labels: cultura; gonzagão
Thursday, August 27, 2009
Ativista do Andes-SN rompe com PSOL e anuncia entrada no PSTU -
0 comments Posted by barongan at 8:26 AM
Labels: PSTU
Wednesday, August 26, 2009
Istri kakak adiknya Ny. Sibarani
Cukup lama, tiga tahun kemudian tanda tanya itu baru terjawab yaitu ketika lawyer yang kami pakai ingin membawa masalah penipuan harga Alat berat import ini ke meja hijau. Dua pengacara kondang ibukota, Sdr.Mauliate Situmeang SH dan Yan Apul SH setelah mengancam Agen tunggal itu akan memperkaraka penipuan ini, mereka lalu membuka suara dengan berkata: "Keluarga pak Situmeang itu yang menipu Abangnya sendiri", katanya. Maksudnya, Sdr.Sibarani dan rekannya yang minta komisi dimasukkan dalam harga barang.
Mr.Dieter Cremer, warga Jerman, agen resmi yang berkantor di Gedung Bendungan Hilir, Jakarta itu tidak gentar mendengar ancaman mereka. Demikian cerita pengacara tsb.
Proses menuju meja hijau tetap dilakukan sambil mencari dokumen ke Kantor Lembaga Pemerintah dan Keduataan Finlandia di Jl.Kuningan Jakarta. Dari dokumen resmi yang berhasil kami kumpulkan, diketahui bahwa perusahaan kami, P.T.Monang Brothers Containers dan PT.Humpus, milik keluarga Cendana telah membayar harga paling mahal dibandingkan dengan beberapa perusahaan lain yang membeli Alat berat dengan type, kapasitas yang sama buatan Finlandia, Jerman dan Italy, yang mendominasi pasaran Reach Stacker di Indonesia.
Dua law firm papan atas itu tidak bisa berbuat banyak, tidak mampu menyeret warga Jerman penipu itu ke meja hakim. Walau sudah jelas jelas kami membayar diatas harga rata rata, dan adanya unsur komisi dan mark up harga, kasus ini mentok juga. Alasan hukumnya adalah karena kami sudah tanda tangan Letter of Credit (L/C) dengan Bank Exim Cabang Kebayoran Baru, Jakarta. Status hukum L/C itu sama saja dengan kredit (pinjaman) lainnya, suatu perjanjian dua belah fihak yang sama kuatnya dengan Undang Undang.
Secara juridis, kami telah menyetujui dengan sukarela, tanpa paksaan untuk mengimpor 2 unit Reach Stacker -alat bongkar muat Container- senilai US.$ 986.000 dan Bank Exim telah menyanggupi untuk membayar setelah dokumen pengapalan (Bill of Lading) diserahkan oleh Exportir ke Banknya di Helsinki, Finlandia. Sampai disini, tidak ada cacat hukum yang terjadi, tidak ada celah pidana yang terbuka untuk dimasuki.
Sementara itu, saya juga menulis surat ke Dutabesar Finlandia di Jakarta, Dutabesar R.I di Helsinki melaporkan bahwa Agen SISU Finlandia di Indonesia melakukan perdagangan kotor dengan menjual Alat berat type yang sama dengan harga yang berbeda beda. Fihak Dutabesar Finlandia hanya bisa memanggil dan memperingatkan Agen di Indonesia dan agen di Singapura, tidak sampai punya wewenang untuk memasuki domain hukum.
Saya yang bekerja di dunia Perbankan, yang dikenal sebagai "Lembaga kepercayaan", tidak biasa mempermainkan nasabahnya. Bahkan nasabah diperlakukan sebagai raja, seperti saya pelajari sejak masih remaja di SMEP Negeri, bahwa "the costumers is king". Tidak tahu bahwa dalam real bisnis, penipuan itu bukan merupakan hal yang tabu. Kami yang lugu dengan mudahnya ditipu ratusan juta rupiah dengan praktek mark up harga.
Ketika terjadi krisis ekonomi upaya hukum pidana menuntut Agen ini kami hentikan dan beralih menuntut perdata mitra kerja kami di pelabuhan karena pemutusan kontrak sefihak dengan dalih krisis ekonomi. Ratu adil dengan tutup mata mengetok palu memenangkan kami di tingkat Pengadilan Tinggi hingga level Mahkamah Agung. Kamipun terlena menerima pembayaran ganti rugi sewa selama satu tahun sisa kontrak. Sementara itu kerugian karena penipuan Agen berat ini terlupakan.
Setelah saya review kembali, sebenarnya jika kita SMART, berupaya dengan tekun, pantang menyerah, teliti, kita kumpulkan data, dokumen dan informasi sebanyak banyaknya, maka kita mempunyai peluru untuk menembak. Sedang lawyer itu sifatnya hanya seperti senjata dan memerlukan amunisinya dari kita (penuntut).
Dengan segala upaya saya mendatangi perusahaan Surveyor, Dep.Perdagangan, Kedutaan Findland di Jakarta dan menyurati Kedutaan R.I di Helsinki dan juga menyurati Direktur fabrik SISU/exportir di Tampere, Finland. Semua materi tsb. memberikan informasi yang membua cakrawala baru bagi kita, yang bukan ahli hukum sekalipun.
Dari 5 perusahaan yang mengimport barang yang sama, dengan harga bervariasi antara US$ 380.000 - $.480.000 per unit. Dan harga yang paling mahal dibayar oleh PT.Humpus dan P.T.Monang, dengan pengertian bahwa di kedua perusahaan tsb para Staf/orang yang terlibat pengadaan Reach Stacker tsb melakukan korupsi, manipulasi meminta komisi, mark up harga barang.
Yang cukup menarik sebenarnya adalah mark up harga tsb sangat tinggi mencapai 27,5%. Rekayasa tsb sebenarnya sangat halus dengan menyembunyikannya dalam Pajak dan Bea Masuk. Artinya harga delivery barang adalah CIF (Cost, Insurance and Freight) franko pelabuhan Tanjungpriok, sudah termasuk Bea Masuk dan Pajak sebesar 27,5%. Akan tetapi, mengingat P.T.Monang mendapat pembebasan Pajak dan Bea Masuk, maka dana ini diambil oleh Agen untuk dibagi bagikan sebagai Komisi. Akibat lanjutannya sudah jelas Nilai kredit membengkak dan kami harus bekerja extra keras untuk membayar angsuran dan bunga Leasing yang lebih tinggi. Akibat akhirnya, kami kalah bersaing dalam tarif sewa dibandingkan dengan perusahaan pesaing lainnya.
Sepintas ada dua Undang Undang yang tekait dengan transaksi tsb yang dilanggar yaitu Undang Undang Pajak dan U.U.Korupsi. Sedang difihak lain Perjanjian Kredit berupa L/C Bank EXIM status hukumnya setara dengan Undang Undang. Hanya saya melihat ada secercah sinar diujung terowongan berupa "penipuan". Perjanjian tertulis dua belah fihak memang kekuatan hukumnya setara dengan U.U, tetapi sepanjang dilakukan dengan jujur. Jika ada unsur penipuan, maka gugurlah dia menjadi melawan hukum.
Labels: LEARNING
Tuesday, August 25, 2009
Porque tem que tocar Raul
WILSON H. SILVA
da redação do Opinião Socialista e
membro da Secretaria Nacional de Negros e Negras dos PSTU
Há 20 anos, em 21 de agosto de 1989, o “maluco beleza” Raul Seixas embarcou em sua última viagem. Nascido em 1945, em Salvador, o cantor e compositor continua a impor sua marcante presença no cenário musical brasileiro. Também segue conquistando fãs entre milhões de jovens que sequer haviam nascido quando ele morreu vítima de uma parada cardíaca provocada pelo mau funcionamento de um pâncreas há muito castigado pelo álcool e uma razoável lista de outras substâncias.
Figura exemplar de uma geração que tentou traduzir em arte os tumultuados anos que vão do final dos 1960 a meados da década de 1980, Raulzito tornou-se o mito que é, até hoje, ao saber combinar, como poucos, letras poéticas, irreverência e criatividade com uma postura literalmente “anarquista” diante da vida. Tudo isso embalado em sonoridades que, mergulhadas no melhor do rock e do blues, sempre dialogaram com a cultura brasileira, seja a enraizada nas tradições nordestinas, seja aquela que brota dos meios urbanos.
É exatamente por isso que, em pleno século 21, é praticamente impossível que uma noitada num boteco com música ao vivo, uma festa ou um show que reúna gente “antenada com o mundo” possa acabar sem que alguém encha os pulmões para gritar: “Toca Raul”. A frase é a tradução espontânea dos mesmos desejos que alimentaram a alegria, a poesia e a beleza da obra de Raulzito.
Desobediência como caminho para a criatividade
Radical no melhor sentido da palavra, Raul Seixas era uma espécie de “menestrel” fora do tempo e do espaço. Comportando-se como uma daquelas figuras da Idade Média que recolhiam histórias das margens da “história oficial” e as transformavam em poesias cheias de ironia, sensualidade e visão crítica, o cantor repetia à exaustão que tudo o que criava era resultado de sua convicta postura de “desobediência” diante da lógica do mundo.
Nascido numa capital nordestina, criado ao som do rádio e dos sucessos de Luiz Gonzaga e mergulhado (através de seu pai ferroviário) no universo dos repentes e do cordel, Raul cresceu para se transformar em roqueiro e “imitador consciente” de Elvis Presley.
Figura “esquisita” na capital baiana – com seu cabelo banhado em “brilhantina”, jeans agarrado à pele e casacos de couro nada adequados ao sol de Salvador –, o “showman” Raul foi, durante a infância (e no decorrer da vida fora dos palcos), um sujeito tímido, dado mais à leitura (ele sonhava em ser escritor) do que às brincadeiras de rua e baladas.
Ainda bastante jovem, juntou-se com amigos numa série de bandas que tiveram vida curta, mas foram marcantes para sua formação, como “Os Relâmpagos do Rock” e “Raulzito e os Panteras”, formadas ainda na década de 1960, e que o aproximaram da turma “bem comportada” da Jovem Guarda, com “roquinhos” um tanto insossos como “Doce, doce, doce amor”. Nessa época, foi para o Rio de Janeiro.
A figura de Raul, no entanto, dificilmente poderia encontrar seu lugar em meio a artistas como Jerry Adriani, Roberto Carlos e os demais representantes da Jovem Guarda. Raulzito também não poderia ficar imune à onda psicodélica e rebelde que varria o mundo nos arredores de 1968.
Com sua típica “desobediência”, o cantor, literalmente, tomou de assalto o estúdio da empresa fonográfica que o estava contratando para gravar seu segundo LP, “Sociedade da Grã-Ordem Kavernista Apresenta Sessão das 10”, cujos títulos e sonoridades antecipam seus maiores sucessos dos anos 1970.
Apesar de a distribuição do disco ter sido censurada pela empresa, Raul chegou ao grande público com seu estilo em 1972, quando participou do 7° Festival Internacional da Canção, promovido pela Globo, com duas músicas que marcaram época: a deliciosa mistura de rock e baião “Let me sing” e a enlouquecida “Eu sou eu Nicuri é o Diabo”.
Metamorfose ambulante
Sempre atento ao mundo ao seu redor, Raul emplacou, no ano seguinte, um de seus maiores e mais fantásticos sucessos, “Ouro de tolo”, uma letra em que aspectos autobiográficos misturam-se com a mais debochada crítica à ditadura, seu “milagre” econômico e à censura.
Foi nesse mesmo ano que saiu o disco “Krig-Ha, Bandolo”, com uma excepcional concentração de músicas inesquecíveis, como “Metamorfose ambulante”, “Mosca na sopa”, a própria “Ouro de tolo” e “Al Capone”. Todas elas transformadas em verdadeiros hinos de uma juventude que queria gritar por liberdade.
Diversas em ritmos e temas, todas as músicas, no entanto, têm uma coisa em comum, típica da obra de Raulzito: a ideia de “refazer-se”, “reinventar-se” a cada momento, fugir das regras estabelecidas, questionar tudo e todos. À beira muitas vezes de um misticismo meio alucinado (que o aproximou da hoje inglória figura de Paulo Coelho) – praticado por alguém que sempre dizia que “não existe Deus, senão no homem” – e com uma riqueza poética poucas vezes encontrada na música brasileira, as músicas ainda tinham a capacidade de conquistar os públicos mais diversos.
Um sonho sonhado junto é realidade
Vivendo numa sociedade repressiva e “careta”, que o levou muitas vezes a embates com o sistema (como na sua primeira prisão, em 1974, pelo Dops, e o breve exílio nos EUA), podemos dizer que a grande contribuição de Raul para a juventude da época foi exatamente a possibilidade de “sonhar” um outro mundo.
Um sonho um tanto lisérgico, psicodélico e anarquista, mas um sonho que, como o próprio cantor dizia, deveria e merecia ser sonhado, pois, nas suas palavras: “Somente o sonho sonhado sozinho é um sonho; um sonho sonhado junto é realidade”.
Sonho traduzido em canções posteriores como “Sociedade alternativa” e a memorável “Gita” que, quando lançada, praticamente impôs a figura de Raul ao mercado ao vender nada menos do que 600 mil cópias.
Homem de muitos e destrambelhados amores, sujeito que nunca teve medo de “tentar outra vez” e dono de uma cultura digna de quem “nasceu há dez mil anos atrás”, Raul Seixas partiu deixando uma obra que, pela sua multiplicidade, é capaz de embalar os mais diversos momentos da vida de seus fãs.
Fruto de sua época, também não foi “santo”, muito menos inquestionável. Afinal, em meio a preciosidades como “O dia em que a Terra parou” e “Aluga-se” (transformada em hino contra o FMI e o pagamento da dívida externa), Raulzito também deixou umas tantas bobagens, como por exemplo, o “intragável” e homofóbico “Rock das Aranhas”.
Derrapadas à parte, o que ficou de sua obra depois de três décadas de sua ausência é a figura do “mago” irreverente, do “maluco beleza” que, sem dúvida, sempre que toca deixa nossa vida mais legal.
Labels: Raul Seixas
Sunday, August 23, 2009
da redação do Opinião Socialista
Leon Trotsky lia atentamente um texto entregue a ele por seu assassino. De repente, um golpe violento na cabeça dado pelas costas com uma picareta de alpinista o jogou ao chão. Mesmo ferido mortalmente, ele se agarrou ao assassino enquanto seus guarda-costas chegavam. Gritou para que não o matassem, para que se descobrisse o mandante do crime
Era o dia 20 de agosto de 1940. Trotsky foi levado ao hospital ainda lúcido. Em suas últimas palavras, deixou a mensagem de otimismo a seus camaradas em todo o mundo: “Estou próximo da morte, devido ao golpe de assassino político... Por favor, digam aos nossos amigos... Estou certo... da vitória da IV Internacional... continuem”.
Antes de entrar na sala de cirurgia, se despediu carinhosamente de Natasha, sua companheira de muitos anos. Entrou em coma logo depois e morreu no dia seguinte.
O assassino
Ramon Mercader, o nome verdadeiro do assassino, era um agente da GPU, serviço de segurança russo antecessor da KGB. Foi um crime longamente planejado pelo stalinismo. Mercader viajou para a URSS em 1937, lá permanecendo por seis meses. Depois, no México, conseguiu se aproximar pessoalmente de uma secretária de Trotsky, Silvia Ageloff.
A partir daí, se apresentou ao velho revolucionário como um simpatizante de suas idéias. No dia do assassinato, entregou um texto a Trotsky para que ele opinasse. Aproveitando-se de sua distração, assassinou-o pelas costas.
Depois de sair da prisão, em 1961, Mercader foi para URSS, onde foi condecorado com a medalha de “Herói da União Soviética”.
Stalin tenta cortar o fio de continuidade do marxismoO assassinato de Trotsky não foi algo inesperado. Era parte de uma política consciente do stalinismo de eliminar qualquer ligação entre os velhos dirigentes da Revolução Russa de 1917 com as gerações mais jovens. Era a tentativa de cortar o fio de continuidade do marxismo revolucionário num momento em que se preparava, novamente, uma guerra mundial, com suas conseqüências revolucionárias. Existia a possibilidade de se construir uma alternativa de direção revolucionária ao redor do velho bolchevique russo.
Trotsky pertenceu a uma geração de revolucionários sem precedentes na história. Uma geração que deu respostas teóricas e políticas desde questões relacionadas à organização do partido revolucionário até a construção do poder de Estado pela classe operária.
Ele não foi apenas um dos principais dirigentes da Revolução Russa ou o organizador do Exército Vermelho, como é costumeiramente lembrado. Foi o primeiro a identificar o perigo da crescente burocratização do partido e do Estado operário soviético, que ameaçava as conquistas da Revolução de Outubro.
Dedicou sua vida, a partir da morte de Lenin, a uma luta prática e teórica para libertar o movimento operário internacional da dominação stalinista. Lançou-se numa batalha sem tréguas contra a burocratização e em oposição à desastrosa política da burocracia dirigida por Stalin.
Logo após a ascensão do stalinismo, o revolucionário russo organizou a Oposição de Esquerda e se opôs radicalmente à teoria do “socialismo num só país” defendida por Stalin. Trotsky sustentava que era impossível construir o socialismo limitado às fronteiras nacionais de um país economicamente atrasado como a Rússia. Como Lenin, acreditava que a Revolução Russa era só o princípio da revolução socialista mundial.
Trotsky dedicou os últimos anos de sua vida a construir uma alternativa à desastrosa política dos partidos comunistas, intervindo nos processos revolucionários. Realizou o que em sua própria opinião era “o trabalho mais importante” de sua vida: a construção da IV Internacional.
A perseguição implacável do stalinismo
Em 1927, Trotsky foi expulso do partido, destituído de suas funções no Estado Soviético e, no início de 1928, deportado para o Cazaquistão. No ano seguinte, Trotsky foi banido da URSS e sua condição de cidadão soviético foi cassada.
Trotsky era um homem sem nacionalidade ou cidadania. Começava, assim, uma longa jornada de exílios e expulsões que iniciou na Turquia, passou pela Noruega e pela França, até chegar, finalmente, ao México, em 1937, único país que aceitou o exílio do revolucionário russo.
Quatro anos antes do assassinato, tiveram início os famosos Processos de Moscou contra dirigentes bolcheviques. Neles, foram fuzilados velhos colaboradores de Lenin, como Zinoviev, Kamenev, Bukharin, Antonov-Ovseenko, entre outros. Durante os processos, o próprio Trotsky foi condenado à morte por ser considerado um suposto “agente sabotador do imperialismo”. Nesse período, milhares de ativistas da Oposição de Esquerda já haviam sido atacados, assassinados, presos ou deportados.
A campanha de terror tinha o objetivo de suprimir toda oposição genuinamente socialista contra a usurpação do poder feita pelo stalinismo. O alvo maior do stalinismo era atacar os que estavam junto com Trotsky. Em fevereiro de 1937, Leon Sedov, filho de Trotsky, foi morto em Paris. Às vésperas da fundação da IV, Rudolf Klement, secretário de organização da nova Internacional, foi assassinado, e o projeto de estatutos foi roubado.
Em 24 de maio de 1940, se deu a primeira tentativa de assassinato de Trotsky. Um bando de assassinos stalinistas, liderados pelo pintor David Siqueiros disparou rajadas de balas contra a casa do revolucionário que escapou do atentado.
Na segunda tentativa, conseguiram seu objetivo. Stalin havia, finalmente, liquidado o último dos grandes dirigentes bolcheviques da Revolução de Outubro.
O stalinismo foi julgado pela história
O stalinismo procurava desarticular a recém-fundada IV Internacional. Possui um grande significado o fato de Stalin, que naquele momento dirigia um Estado operário e tinha influência em partidos de massas de todo o mundo, ter de recorrer a um assassinato pelas costas de um velho de 61 anos.
Hoje, o aparato stalinista desabou. Mesmo o que resta dos partidos stalinistas rejeita a vinculação com Stalin. Por outro lado, a IV Internacional sobreviveu e está sendo reconstruída. Obviamente, o assassinato do principal dirigente da Internacional foi uma perda colossal.
Mesmo assim, o stalinismo não conseguiu suprimir o legado teórico e político do revolucionário russo. Suas obras constituem uma extraordinária contribuição para a teoria marxista. Um legado para as novas gerações de revolucionários que mantêm viva a sua luta em defesa do socialismo e da IV Internacional.
Labels: Leon Trostsky, marxismo, PSTU
Saturday, August 22, 2009
O tabuleiro das eleições de 2010 se alterou drasticamente, com o convite do Partido Verde (PV) à ex-ministra Marina Silva para disputar a Presidência da República. O PT e o governo reagiram rapidamente. Senadores petistas tentaram fazer com que ela permanecesse no partido, sem sucesso. Em pouco tempo, todos já davam como certa sua candidatura a presidente. A novidade altera a eleição, polarizada entre José Serra (PSDB), pela oposição de direita, e Dilma Rousseff, como herdeira de Lula.
Para a ex-ministra do Meio Ambiente, a tese de interferência do PSDB é teoria da conspiração. O certo é que sua entrada contribui para garantir ao tucano um segundo turno. O PSDB agradece. Aécio Neves afirmou à imprensa que não descarta uma aliança com Marina: “se não for possível no primeiro turno, como nós gostaríamos, com certeza, no segundo”.
Ensaio geral
Há antecedentes na manobra tucana. Nas eleições municipais no Rio e em São Paulo, candidaturas alternativas foram impulsionadas diretamente pelo PSDB. Em comum, posições ou trajetórias de esquerda, um perfil ético e independente, desvinculado de políticos tradicionais. Ocuparam espaço entre setores desiludidos com a política. Pela internet, conquistaram segmentos da juventude que provavelmente ignorariam a eleição.
Em São Paulo, a vereadora Soninha Francine deixou o PT e se lançou pelo PPS. Com posições avançadas sobre drogas e aborto, retirou votos de Marta Suplicy (PT), derrotada por Gilberto Kassab (DEM). Admiradora de Serra, Soninha obteve 4% dos votos válidos.
Mas foi no Rio onde a fórmula tucana teve mais sucesso. Fernando Gabeira (PV) polarizou a cidade. Nem mesmo a coalizão com o PPS e o PSDB e o apoio do DEM no segundo turno impediram que fosse visto como representante da “esquerda”. Por muito pouco não derrotou Eduardo Paes (PMDB), apoiado por Lula.
A trajetória de Gabeira confunde. Ex-guerrilheiro, fundador do PV, ex-petista, famoso por ousadias de comportamento e política, cultiva uma imagem de independência, que se encaixa como luva na estratégia tucana. É como se flutuasse acima das estruturas dos partidos, sem se submeter aos caciques ou aos que financiam as candidaturas. Ilusão. Candidato ao governo do Rio, estará com Serra, mesmo com Marina candidata pelo PV. É o preço do apoio tucano. Em São Paulo, Soninha integra a coalizão DEM-PSDB em uma subprefeitura.
Ilusões
Esse fenômeno é ainda maior com Marina, dona de uma trajetória de luta na floresta, ainda com Chico Mendes. É tida como honesta, íntegra. É mulher e disputa a Presidência, universo de ampla maioria masculina.
Possui ainda história de vida semelhante à de Lula: filha de retirantes, nascida no seringal no Acre, de infância pobre. Também de sobrenome “Silva”, como Lula gosta de realçar.
É provável que muitos trabalhadores olhem com expectativa para a ex-ministra. Que se agarrem a sua biografia, ignorando o restante.
Limites
Há enormes contradições, a começar pelo PV. O partido usa a defesa do meio ambiente para apresentar-se acima das classes, imune aos podres poderes da espécie humana. Todo partido está a serviço de uma das classes sociais. O PV está longe de ser um partido operário, de trabalhadores.
É um partido burguês, que em cada estado serve a outro partido maior, como se fosse uma legenda de aluguel. E tem em sua direção Zequinha Sarney, filho do presidente do Senado, uma ligação direta com o mais repudiado político brasileiro. Na Bahia, está com o PT. É aliado ao DEM, com Kassab, e ao PSDB, nos governos de Serra e Aécio.
Lideranças do PV, como Alfredo Sirkis, ex-secretário de Cesar Maia, já falam em alianças para aumentar o tempo de TV. O nome para vice é o de Cristovam Buarque, do PDT, outro partido dos patrões e da Força Sindical.
Marina ministra
A imagem de Marina ao deixar o governo foi de alguém coerente, que não aceitou acordos com os que destroem a natureza. Mas não foi isso. Ela foi ministra durante as maiores agressões ao meio ambiente. O Brasil liberou os transgênicos e aprovou a transposição do rio São Francisco, o que nenhum governo de direita tinha conseguido. Permitiu usinas no rio Madeira. O desmatamento na Amazônia foi recorde, com ampliação da soja e do gado. As florestas foram privatizadas. Esses ataques à ecologia foram justificados e legitimados sob a tese do governo em disputa.
Não havia disputa. Ao permanecer como ministra, desde 2002, Marina prestou um papel lamentável – emprestou sua biografia, seu prestígio internacional a um governo que sempre esteve ao lado do agronegócio.
Seu balanço foi o de ter participado de ataques históricos ao meio ambiente e de um governo que destruiu a Amazônia como poucos. Ao ter permanecido tanto tempo, tornou-se cúmplice.
Utopia
A atuação de Marina como ministra foi consequência de uma tese, a do desenvolvimento sustentável. Supõe um modelo em que as empresas respeitem os limites da natureza. Significa, na prática, limitar os lucros. Essa tese foi o carro-chefe de Lula. Eleito, prevaleceram os interesses das empresas.
A natureza do capitalismo, do lucro, se acentua na crise econômica. Da mesma forma que as empresas aumentaram a exploração para manter a taxa de lucro, também aceleram a destruição da natureza.
Há outras razões que tornam ainda mais utópica essa defesa – a forte presença das multinacionais e a dependência da economia brasileira. Essa é também a causa da pressa nas licenças das obras do PAC.
A defesa do mesmo programa do PT e do governo Lula, apostando na boa fé capitalista, levará a derrotas. Insistir nessa tese é enganar os trabalhadores. Os que falavam em ética hoje defendem Sarney como mal menor. Os que erguiam bandeiras ecológicas são os pragmáticos de hoje.
As empresas se apropriam da ecologia como marketing. A saída para a crise ambiental está nas mãos dos trabalhadores, com um programa socialista, contra empresas e governos. Sem um programa assim, o resto é utopia reacionária.
Por uma verdadeira alternativa em 2010
Neste momento em que velhas ideias são recicladas e oferecidas como novidades aos trabalhadores, é preciso reafirmar o chamado a unir os trabalhadores e os socialistas na eleição de 2010. Uma frente classista e socialista, com PSOL, PSTU e PCB. Não nos enganemos: a manobra da candidatura do PV também disputará os votos da frente, caso esta não apresente um programa e um perfil claro de esquerda e opte por trilhar apenas o caminho ético.
A entrada de Marina reforça a necessidade de ter nossos principais nomes na disputa. Seria um erro não apresentar, nesta conjuntura, a candidatura de Heloísa Helena, com uma trajetória militante e um legado da eleição de 2006. É preciso uma candidatura que reúna os principais nomes como Heloísa e Zé Maria, sem alianças com partidos burgueses e financiamento das empresas, para combater o governo Lula, a oposição de direita e as ilusões em candidaturas como a de Marina.
Fonte: site do PSTU
Labels: frente de esquerda, governo Lula, PSTU
EX- VEREADOR DO PSDB DE UBERABA É CONDENADO A RESSARCIR MAIS DE R$1 MILHÃO POR FRAUDES
0 comments Posted by barongan at 10:01 AMTCU publica condenação dos envolvidos no caso Ceneg
Publicado em 21/08/2009 às 12:15
fonte: MGTV Rede Integração
Ex-diretor do Centro Nacional da Cidadania Negra em Uberaba terá que devolver mais de R$1 milhão aos cofres públicos
O Tribunal de Contas da União (TCU) publicou a condenação dos envolvidos no caso do Centro Nacional da Cidadania Negra (Ceneg), em Uberaba. O MGTV já mostrou a situação do prédio do Centro dedicado a cursos de formação para a comunidade negra.
Nessa quinta-feira (20), o ministro relator do processo, José Jorge, determinou que o ex-diretor da entidade, Gilberto Caixeta, devolva mais de R$1 milhão aos cofres públicos. O recurso faz parte de um convênio assinado com o Ministério da Cultura para a implantação de projetos de formação e qualificação da comunidade negra.
O prédio do Ceneg está abandonado: móveis e papéis espalhados por todos os lados. No laboratório de informática, computadores destruídos. Nos auditórios, restos de alimentos. Por causa do abandono o local é alvo de vândalos. Além de devolver os recursos, Gilberto Caixeta vai pagar uma multa de R$8 mil.
A decisão do Tribunal é do dia 11 de agosto, mas só agora foi publicada. Procurado pela produção do MGTV, o ex-diretor do Ceneg informou que já entrou com recurso contra a decisão do TCU e que não vai se pronunciar sobre o assunto. Ele ainda responde a processo no Ministério Público Federal pela mesma acusação.
Friday, August 21, 2009
DIRCEU TRAVESSO, DA SECRETARIA EXECUTIVA DA CONLUTAS, DIRETO DE HONDURAS |