Sunday, September 4, 2011

SCIENCE of LOVE .../ ILMU CINTA

It’s anything but simple, and, for years, scientists have tried to unlock the secrets behind why we fall in love, who we fall in love with and why some loves persist, while others fall, at times, spectacularly to pieces. 

To learn more about the science of love, and the most recent findings in the study of human brain function as it relates to addictive behavior (yes, love is an addiction), we asked Johns Hopkins neuroscience professor and author, Dr. David Linden, five questions about the science of love and what we can expect to see in the future when it comes to neuroscientific discoveries.


“The Compass of Pleasure” by David Linden 


This
is the fourth in the “Five Questions” series where we ask industry, thought and academic leaders five questions about what’s next.
1) When reviewing the scientific literature on the biology of love and sex, what did you find most surprising about the brain’s behavior when in love?

 
I was most surprised by what the brain suppresses when it is in love. The way we describe love in different cultures varies little. We all experience the suppression of appetite, obsession, giddiness and sexual desire. Our judgment is distorted in at least two ways: We accentuate the good traits about the person we love and diminish the bad ones, and we take a different view of the world, believing, for example, that our discretion in a relationship is greater than it really is.


When we look into the eyes of our beloved, a feedback loop occurs in the brain. This loop allows us to not only see all of the wonderful things about our beloved, but to have those positive feelings mirrored back to us. All of that is to say: When we are in love, we like ourselves better as well. And our moods are amplified.

Anyone who has been in love can tell the highs are higher and, when things turn sour, the lows are lower.
Lucy Brown, a neurobiologist from the Albert Einstein College of Medicine, took on the challenge of finding out how these characteristics of intense romantic love correspond with brain function. To do this, Brown and her colleagues recruited men and women who were in the early stages of a relationship (on average, 7 months). The subjects all reported being “madly, deeply and passionately” in love.

Brown and her team found that the pattern of brain activity that occurred when the subjects viewed their beloved’s face was remarkably consistent with the lover’s self-reports. The brain activity that corresponds with those feelings of intense, euphoric pleasure, is similar to the way the brain responds to cocaine or heroin.

Brown and her team also found that the activity in the brain that corresponded with our ability to distort the characteristics of our beloved and the world around us was similar to obsessive/compulsive disorder. Brown and her team also conducted their experiment in Beijing, China, and found identical results. It will be interesting to see, in future, the same study conducted comparing men and women who are gay, straight and bi-sexual.

Separate, social psychology studies have also found that people in long-term relationships observe the intense, initial feelings of romantic love to last between nine months to two years. That feeling is then replaced in most couples, by a less intense feeling of loving companionship. Given that, it raises interesting and important questions about our laws. While anyone can get married immediately, most states requires a 6-to-24 month waiting period before getting a divorce. Given the nature of how our brains work when we’re in love, perhaps it should be the other way around.
 
INDONESIA

Apapun namanya namun sangat sederhana dan sudah bertahun tahun para ahli mencoba membuka rahasia ada apa yang menyebabkan orang jatuh cinta, dengan siapa jatuh cinta dan mengapa ada cinta yg langgeng sedang yang lain gagal dan bahkan berantakan.

Untuk memahami lebih lanjut tentang ilmu cinta itu dan temuan paling mutakhir ketika mendalami fungsi otak yang berkaitan langsung dengan sikap yang ketagihan (cinta memang ketagihan). Kami bertanya kepada profesor ilmu syaraf dari John Hopkins dan sekaligus pengarang buku, Dr.David Linden, 5 pertanyaan tentang Ilmu cinta dan apa yg akan  kita ketahui kelak jika sampai kepada hasil temuan ilmu saraf 

Ini pertanyaan ke 4 dari 5 pertanyaan berseri dimana ditanyakan tentang apa kelanjutannya setelah jatuh cinta
Ketika dilakukan penelaahan literatur tentang Biology Cinta dan Sex, temuan apa yang paling mengejutkan Anda tentang perilaku otak ketika jatuh cinta ?

Yang paling mengejutkan saya adalah tentang tekanan pada otak ketika jatuh cinta. Mungkin bagaimana cara menyampaikan rasa cinta sedikit berbeda tergantung adat/budaya latar belakang kita masing masing.

Ketika catuh cinta, terjadi peningkatan nafsu makan, obsessi memiliki, sensasi dan meningkatnya hasrat sexual. Penilaian kami agak terganggu dalam dua hal. Pertama, kita cendrung memberikan nilai istimewa kepada seseorang yg kita cintai dan mengesampingkan/mengurangi hal hal yang negatif, dan kedua, kita memberikan pandangan dunia yang berbeda, juga kepercayaan,  misalnya memberikan penilaian lebih/berlebihan dari yang sebenarnya.

Ketika kita menatap mata kekasih kita, terjadi hubungan langsung antara mata dan otak kita. Hubungan ini memampukan kita tidak hanya melihat hal hal yang menarik pada kekasih kita, tetapi juga perasaan positif itu memantul kembali ke arah kita. Semua hal itu mau mengatakan bahwa: Ketika kita jatuh cinta, kita lebih menyenangi diri kita sendiri

Siapapun yang pernah jatuh cinta dapat menceritakan bahwa ketika lagi senang senangnya semuanya menjadi indah, sebaliknya ketika tidak suka lagi kita akan memberi cap yang paling buruk. 

Lucy Brown, ahli jiwa dari Albert Einstein College of Medicine, melakukan tantangan untuk menemukan jawaban bagaimana sifat cinta yang menggebu gebu dikaitkan dengan fungsi otak. 

Untuk maksud tsb mereka mencari beberapa pria dan wanita dalam status belum lama berpacaran (rata rata 7 bulan). Hasilnya dilaporkan : " sedang mabuk cinta, cinta yg mendalam dan sangat sayang"

Brown dan timnya menemukan bahwa pola kegiatan otak ketika memandang wajah kekasihnya benar benar konsisten sama dengan kesukaan akan diri sendiri. Kegiatan pergerakan otak yang terkait dengan perasaan cinta, rasa suka cita mirip dengan cara otak merespon jika sedang  mengkonsumsi cocaine atau heroin 

Brown dan timnya juga menemukan bahwa kegiatan otak mempengaruhi kemampuan kita merubah sifat sifat kekasih kita dan lingkungan tempat kita berada, persis sama seperti keinginan yang diluar batas normal. 

Mereka juga melakukan observasi di Beijing, China dan hasilnya identik sama. Akan sangat menarik kelak jika dilakukan study yang sama dng membandingkannya dengan pria dan wanita yang Gay, homo atau bi-sexual

Secara terpisah, study psychology sosial juga menemukan bahwa mereka yang dalam status hubungan pernikahan yang panjang, mengamati bahwa cinta romatis diawal hubungan hanya bertahan sekitar 9 bulan hingga 2 tahun. Perasaan cinta pasangan itu kemudian berganti /berkurang intensnya  (pasangan suami/istri pada umumnya)
Oleh sebab itu, timbul pertanyaan menarik dan penting tentang hukum kita (USA). Di banyak Negara bagian, seseorang baru diijinkan menikah kembali setelah masa penantian 6 - 24 bulan setelah bercerai. Berdasarkan hal itu, selanjutnya bagaimana kegiatan otak kita ketika catuh cinta lagi, barangkali tidak jauh dari hasil penelitian diatas.

Sumber :Washington Post, September 2, 2011







0 Comments:

Post a Comment



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

FREE HOT VIDEO | HOT GIRL GALERRY